16. Part 2

68 6 2
                                    

Ting Tong!

Sekali, dua kali, tiga kali ... hingga puluhan kali bel rumah terus berbunyi tidak berhenti. Letak kamar Ricky adalah yang paling dekat jaraknya dengan pintu rumah yang terpasang alat bel tepat di samping. Spontan Ricky yang sedang berusaha tidur tidak bisa melakukannya dan sangat terusik oleh bunyi yang menusuk gendang telinga ini. 

"Apa tidak ada orang di rumah segede ini?" protes Ricky sambil mengerang. Ia sungguh tidak ingin berpisah dari ranjangnya. Sayang bel masih setia menyanyi, sehingga dengan terpaksa Ricky bangun, keluar dari kamar, dan berjalan ke depan layar intercom pintu.

"Siapa?!" teriaknya dengan keras setelah menyalakan speaker. Namun, Ricky langsung terkejut menyadari siapa yang berdiri di hadapan kamera. "Ana?" lanjutnya tidak percaya.

Ana, yang baru saja tiba dengan wajah yang sebal—dan tambah sebal karena tidak ada yang bukakan pintu—pun terkesiap juga mendengar suaranya.

"Ricky? Apa itu kamu? Kenapa kamu yang buka pintu? Bukannya kamu lagi demam?"

Ricky mendengus dengan kasar. "Entahlah ... mungkin pada keluar." Ricky membuka gerbang besi dan pintu. "Ayo, masuk."

Ana berjalan masuk mengikuti Ricky menuju ruang keluarga. Ruangan tersebut masih sama seperti yang terakhir Ana ingat. Senada dengan cat rumah yang putih-biru muda, ruang tamu berwarna putih ini tersusun rapi set sofa berwarna kelabu. Ana duduk di salah satu sofa dengan tegap, sedangkan Ricky sudah bersandaran dengan lemas di sofa panjang.

Ana menatap Ricky yang tengah membuang napas dengan berat sambil menutup mata. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Ricky tersenyum kecut. "Ingin berkata 'baik-baik saja' tapi ... seperti yang kamu lihat," jawabnya lemah. "Ada apa kemari?"

Sempat merasa enggan, Ana pun meletakkan sebungkus makanan yang dia bawa di atas meja lalu menjawab, "Ini, dari Bos Cafe. Katanya ingin minta kamu coba."

"Apa itu?"

Secara perlahan Ricky meraih bungkusan tersebut lalu membukanya. Di dalam kotak terdapat 3 potong cakes dengan perisa yang berbeda. Kemudian di sudut kotak terselip secarik lipatan kertas. Ricky menarik dan membukanya.

Ibu kirimkan malaikat untukmu. Have fun, boy. Habis sembuh datang kerja ya. Donaa

Ricky tawa tertahan setelah membacanya. Ana menaikkan sebelah alisnya, bingung. Urungkan niat bertanya, ia pun menghela napas sekejap sebelum akhirnya bangkit berdiri.

"Baiklah, aku sudah mengantarkan makanan ini, jadi aku akan pergi sekarang. Aku tidak tahu kenapa Bos memaksaku untuk mengantar sekarang juga, padahal kamu lagi sakit. Kalau tidak bisa makan, simpan saja dulu di kulkas. Kamu istirahatlah, maaf mengganggu."

Ketika Ana mulai beranjak, Ricky menahan lengannya.

"Ada apa?" tanya Ana.

"Temani aku."

Ana mengernyit. "Aku mau balik kerja, Ric. Aku datang sini hanya untuk mengantar makanan—"

Ucapan Ana terpotong. Tanpa basa-basi Ricky langsung menunjukkan secarik kertas berisi pesan dari Dona kepada Ana. Ana membacanya beberapa detik, kemudian eskpresi di wajahnya langsung berubah. Ricky hanya tersenyum kecil.

***

"Pokoknya aku hanya di sini sampai kamu tidur. Jangan meminta lebih!"

Ricky yang sedang berbaring di kasurnya tertawa kecil, tapi kemudian terbatuk. Ana yang berdiri kira-kira berjarak satu meter sebenarnya ingin mengabaikannya, tetapi ia pun mendekat lalu menuangkan segelas air hangat dari termos di nakas. Ricky bangun duduk dan meminumnya.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang