Sakit.
“Cepat telepon ambulans, cepat!”
Terdengar suara seorang pria yang berteriak, disusul suara lain lagi yang ramai dan saling tumpang-tindih. Sungguh berisik.
Kepalaku sangat sakit. Badanku mati rasa semua. Samar-samar terlihat dirinya terbaring juga di sampingku. Perih. Aku tidak bisa bergerak.
“Anakku! Bagaimana keadaan anakku?!”
Apa itu ... suara Mama? Mereka sudah pulang? Badanku berat. Mataku tidak bisa melihat.
“Anak Anda ....”
Terdengar suara samar-samar, disusul dengan suara mesin. Di balik bayang-bayang, semua bergerak sangat cepat. Aku dengan dirinya, terbaring kaku. Warna merah dan rasa sakit di mana-mana. Suara tangisan pilu dari jauh.
Gelap.
***
Ricky tersentak. Matanya membelalak, napas pun memburu. Keringat dingin membasahi hampir sekujur tubuhnya. Wajah terlihat pucat pasi.
Mimpi itu lagi. Ini sudah kesekian kalinya, tidak, hampir setiap malam ia dipaksa untuk menyaksikannya, mengalaminya kembali. Kejadian itu, malam tragedi yang tak akan pernah terlupakan. Rasanya sungguh nyata, sampai saat ini Ricky masih bisa membayangkannya. Perasaan yang ngeri dan sakit, masih membekas hingga merambat ke tulang .... Apakah akan selalu menghantuinya seumur hidup?
Setelah napas dan detak jantung yang sempat berpacu akhirnya kembai normal, Ricky menoleh ke arah nakas samping kasur queen size-nya dan menatap jam beker digital yang menyala. Terpampang angka enam dan dua angka nol. Sebuah helaan napas menyusul kemudian.
“Aku bangun tepat waktu lagi ....”
Berbeda dari kebanyakan orang yang bahkan dibangunkan saja tidak bisa, Ricky selalu bangun tepat waktu setiap hari. Ya, bahkan sebelum alarmnya berbunyi sekalipun, ia akan terbangun dengan sendirinya pada jam yang sama setiap pagi. Selalu, pada jam 06.00.
Ricky menatap lurus ke atas. Berbeda dengan dulunya yang tidur di pojok kiri dan melihat lelangitan sudut sana yang sedikit retak, kasurnya kali ini berada di tengah ruangan, berpindah posisi dengan meja yang berada di sudut kali ini.
Bosan menatap lelangitan kosong, ia membalikkan badannya menghadap ke arah kanan. Ia menatap lurus ke depan, ke arah lemari pakaiannya.
Ke arah kasur saudaranya dulu.
“Mending tidur lagi,” gumamnya rendah lalu menutup mata. Memaksa diri untuk tidur kembali, mengalihkan pikirannya.
***
“Ricky, ayo bangun, Ricky!”
Oleh panggilan yang keras ditambah ketukan pintu bertubi-tubi, dengan enggan Ricky pun membuka kelopak matanya. Kontras dengan tadi subuh yang masih remang-remang, cahaya pagi saat ini telah sukses memenuhi kamarnya hingga terang benderang, memaksanya untuk siaga.
“Ini sudah siang, Ric, sudah jam 9,” sahut Mbak Mona, si pembantu rumah tangga, ketika pintu kamar terbuka. Membangunkan Ricky adalah salah satu rutinitasnya juga. “Kelasmu mulai jam 10, kan? Ayo buruan, nanti telat.”
Ricky menaikkan sebelah alisnya. “Kok Mbak tahu?”
“Tahu dong. Jadwalmu sudah Mbak hapal.” Mona mendengkus sombong. “Sudah, ayo cepat pergi mandi, gih!” lanjutnya mengusir Ricky untuk beranjak. Meskipun sudah berumur 22 tahun, kalau tidak disuruh tidak akan jalan. Inilah salah satu alasan yang membuat Mona masih betah bekerja di rumah ini, kasihan kepada pembantu penggantinya nanti tidak sanggup mengurusi anak besar ini kalau saja dia berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Romance(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...