9. Ulang Tahun

41 5 10
                                    

“Kita sudah sampai!”

Hari ini tanggal 28 Oktober. Setelah bermain seharian dengan sepuas hati untuk merayakan hari ulang tahun sahabatnya, Ina mengakhiri acara mereka dengan mengajak Nancy ke tempat ini, tempat favoritnya belakangan ini. Nancy yang merasa aneh hanya mengangkat sebelah alisnya, memandang Ina penuh curiga.

“Kenapa kita ke sini? Bukannya selama ini kamu selalu bilang kalo kamu tidak suka diajak ke sini?” tanya Nancy.

“Kan hari ini harimu, Nan. Mau aku suka tidak suka, yang penting kamunya yang suka.” Ina masih tersenyum penuh. “Ngomong-ngomong sudah jam berapa? Katanya mau makan malam bareng keluarga, kan? Apa sudah sampai waktunya?”

Nancy melirik jam tangannya. “Baru jam setengah tujuh, masih lama. Kami biasa makannya sekitar jam delapanan lebih.”

“Ok, berarti masih bisa kita duduk-duduk minum bentar. Kebetulan aku haus juga, yuk masuk,” ajak Ina cepat dan menarik Nancy masuk ke dalam bar yang sudah sangat familir ini, Classic Time.

Seperti biasa, ketika pintu terbuka, terdengar dentingan bel kecil berbunyi. Aroma lavender terendus hidung, disusul seorang waiter yang menerima tamu dengan tersenyum dan membungkuk sopan. Pria yang bertugas dekat pintu malam ini adalah David.

“Untuk dua orang, di sofa sana,” ucap Ina sambil menunjuk tempat duduk yang berada pas di tengah, berhadapan dengan panggung.

Tentu saja, Nancy keheranan mendengarnya. “Tumben duduk di sana, gak di tempat biasa kita di counter, nih?”

“Sekali-kali ganti suasana, dong. Lagian di sana jauh lebih jelas nontonnya daripada di counter, kan? Yuk.”

Dengan antusias Ina mengajak Nancy menduduki tempat baru. Setelah menyebutkan pesanan mereka—seperti biasa cocktail dan kopi—kepada David, Nancy yang memberengut penuh curiga pun kembali bersuara,

“Sejak awal masuk bar sampai sekarang kamu kelihatan aneh banget, Ina. Apa kamu menyembunyikan sesuatu?”

Tebakan yang sangat tepat, tapi tidak mungkin Ina menggakuinya, lantas menggeleng. “Tidak, kok. Kamu kebanyakan mikir, deh. By the way, aku ke toilet bentar.”

Tidak menunggu Nancy untuk sekadar merespon dulu, Ina buru-buru mengacir ke toilet yang ada di samping counter. Sesudahnya, ia diam-diam mengendap ke arah Bos bar ini berdiri.

“Jeff, Billy di mana?” tanya Ina berbisik. Sejak ia masuk, Ina hanya melihat Louis main gitar di panggung, Jefferson di counter, dan David yang mengantar pesanan. Kurang satu orang lagi yang punya kebiasaan melamun.

Jefferson yang baru selesai meracik minuman pun mengedikkan bahu. “Dia belum datang.”

Ina mengeluarkan ponselnya, sudah jam delapan kurang lima belas menit. “Apakah dia terlambat? Ada kabar darinya?”

“Aku sudah telepon, tapi nomornya tidak aktif. Anak itu memang agak susah dicari.”

Ina tidak menyahutnya, merasa aneh. Kok bisa kebetulan sekali Billy belum datang hari ini? Apa mungkin terjadi sesuatu padanya? Sakitkah? Jangan-jangan ... ada faktor kesengajaan?

“Apa kali ini dia kena macet?” Jefferson tertawa sekilas. “Bagaimana dengan rencana surprise-nya? Masih jadi, gak?”

“Gimana aku mulai kalau Billynya belum datang?” Ina sama sekai tidak menyembunyikan wajah dongkolnya.

Jefferson tertawa lagi, membuat Ina semakin sewot. “Kalian tunggu aja dulu. Ini bukan pertama kalinya dia telat, sih. Tapi tenang, dia pasti akan datang sebentar lagi.”

“... Kuharap begitu,” gumam Ina pasrah lalu berjalan kembali ke tempatnya.

Setibanya, Nancy masih menatapnya penuh curiga. “Kok lama? Buat apa kamu di counter tadi? Kayaknya lagi bahas sesuatu.”

“Nggak, kok. Aku lagi tanya soal Billy.”

“Nah, iya, pas banget. Aku juga merasa seperti tidak melihatnya dari tadi. Kangen, nih, aku. Memangnya kenapa dia?”

Ina mengaduk ice cappuccino-nya berlagak tak acuh. “Katanya ada urusan, jadi agak terlambat. Kita tungguin aja dia, mungkin bentar lagi datang. Lumayan, kamu bisa lepas rindu dulu sebelum pulang.”

“Iya, dong. Sayang kalau sudah datang ke sini tapi tidak mellihat Billy,” ujar Nancy dengan riang, memutuskan untuk menunggu pria pujaan hatinya.

Asyik bercengkrama menikmati alunan musik, dilanjut memainkan ponsel masing-masing, dan tak terasa, satu jam sudah berlalu begitu cepat. Hingga detik ini, batang hidung Billy masih tidak terlihat sama sekali. Ina yang sudah gelisah sedari tadi semakin merasa risau. Ada apa gerangan dengan Billy?

Nancy yang bolak-balik melirik arloji dan ponsel akhirnya memutuskan untuk bangkit dari kursinya. “Ini sudah malam, aku balik saj—”

“Tunggu!” Secepat kilat Ina mencengkram lengan sahabatnya, panik. “Ka-kamu sudah mau balik? Tak mau nunggu Billy dulu?”

“Abangku barusan chat suruh pulang. Mereka sudah lapar. Lain kali saja ketemu Billy, mungkin dia memang—”

“Dia bakalan datang, Nancy! Dia sudah janji padaku!”

“Janji?”

Nancy mengerutkan keningnya. Ternyata memang ada yang aneh dengan Ina.

“Sejak kapan kamu begitu dekat dengan Billy sampai janji-janjian segala? Jujur, Ina, kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”

“Aku ....” Ina menggigit bibirnya, lalu mendecak pasrah. “Baiklah, aku jujur saja. Aku mau buat surprise untukmu, Nancy. Aku minta Billy sama yang lain nyanyikan lagu Happy Birthday dan berikan cake untukmu.”

Nancy terkejut sesaat, tapi kemudian berekspresi datar kembali. “Ok, jadi di mana Billy sekarang?”

Mendadak lidah Ina terasa keluh. “Aku ... tidak tahu .... Tapi aku yakin dia pasti—”

“Sudahlah, Ina. Coba lihat ini sudah jam berapa? Tidak ada pegawai yang akan datang lagi meskipun dia telat sekalipun. Kecuali dia sakit, atau ada masalah, atau dia memang sengaja tidak mau datang.”

“Tidak, aku yakin dia pasti datang, kok. Kata Jefferson ini bukan kali pertamanya dia telat. Dia pasti ada masalah, macet misalnya ... atau sebagainya ....”

Nancy tidak membalas, hanya mendesah panjang dengan raut wajah yang sangat terluka.

“Sepertinya sudah jelas sekali aku ditolak bahkan sebelum aku mengutarakan perasaanku padanya.”

Ina terperanjat. Apa yang barusan Nancy katakan? “Nancy, aku—”

“Iya, aku tahu, kamu sahabat yang sangat baik, Na. Kamu pengen aku senang, pengen aku bahagia dan dapat pacar baru. Aku tahu niatmu baik, tapi bukan seperti ini, Na. Aku tidak pernah memintamu untuk bantu atau campuri urusan cintaku.”

“Tapi, aku—”

“Terima kasih atas semua yang kamu lakukan untukku hari ini, Ina. Kita makan-makan, bermain, belanja, sama nonton film. Aku senang sekali. Kalau saja kamu tidak mengakhirinya dengan memberitahu kenyataan pahit seperti ini ... mungkin ini akan menjadi hari yang paling bahagia bagiku. Sayang sekali ....”

Wajah Nancy tersenyum, tapi senyum yang tersirat adalah senyuman paling menyedihkan yang pernah Ina lihat. Dengan kedua mata yang entah sejak kapan sudah tergenang, Nancy menarik kembali lengannya, lalu berjalan keluar dari bar tanpa menoleh sama sekali. Yang tertinggal hanyalah Ina yang membelalak, dengan pikiran kosong.

Merencanakan kejutan .... Apakah dia baru saja melakukan sebuah kesalahan?

***

TBC ke part 2 😘

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang