3. Part 2

54 7 3
                                    

Setelah siap berbelanja dan menonton bioskop sebagai akhir acara, dengan cepatnya mentari mengundurkan diri dan bulan telah terjaga sempurna. Deretan toko berangsur tutup satu demi satu. Hingga suasana sudah mulai sepi, barulah kedua gadis yang sudah bermain seharian itu bersedia untuk keluar dari mall.

“Bagus banget film tadi!” seru Nancy dengan girang. “Aku tidak menyangka ending-nya akan seperti itu, lho!”

Menanggapi perkataan sahabatnya, Ina hanya nyengir dan mengangguk.

Ditemani lampu jalanan yang menyala redup beserta hilir-mudik mobil yang ramai berbalapan cepat, mereka berceloteh ria sembari berjalan menelusuri emperan toko menuju ke halte terdekat. Langit sudah gelap total, tetapi selain mereka, ternyata banyak juga pejalan kaki dan orang-orang yang nongkrong di sepanjang jalan.

“Tumben ramai, padahal bukan malam Minggu,” komentar Ina menyadari keramaian sekitar. “Tahu begini harusnya aku bawa mobil hari ini. Entah masih ada bus atau tidak. Atau kita pesan Grab saja, Nancy?”

Bertepatan dengan pertanyaannya, Ina spontan menoleh ke samping. Nancy menghilang.

“Nancy?” Ina melihat ke belakang. Tanpa ia sadari, ternyata Nancy telah berhenti berjalan, dengan pandangan yang tertuju total pada sesuatu.

“Sedang lihat apa?” tanyanya begitu tiba di samping Nancy. Mengikuri arah pandang temannya, di hadapan mereka berdiri sebuah gedung bernama Classic Time.

“Apa kamu besok ada kelas?” tanya Nancy mendadak.

Ina memikir sejenak. “Ada sih, dua kelas jam siang,” jawabnya. “Kenapa?”

“Mau coba minum?”

“Eh?”

Belum sempat Ina meresapi ucapannya, tiba-tiba Nancy sudah mencengkram pergelangan tangan Ina dan menariknya masuk ke dalam gedung berwarna coklat itu.

Tring tring.

Begitu pintu kaca didorong terbuka, terdengar bunyi lonceng mungil berdenting. Terlihat di dalamnya ruangan luas model memanjang yang bernuansa gelap dengan penerangan lampu kuning hangat. Selain itu, tercium pula bau khas kayu yang kuat dari mayoritas perabot dan dinding, dipadu dengan aroma lavender yang memenuhi udara, mengalahkan bau-bau alkohol yang harusnya menguasai.

Pertama kali memasuki tempat seperti ini, Ina sempat termangu. Bersamaan dengan kehadiran mereka, telihat beberapa pasang mata yang refleks menoleh menyambut mereka. Seseorang yang berdiri paling dekat berjalan menghampiri.

“Selamat datang di Classic—”

Terdiam. Seorang pria muda yang berperawakan tinggi dan berambut model The Dandy—tebal dengan poni turun—tidak bersuara lagi di hadapan mereka. Lantas matanya yang besar dan tajam di balik lindungan kacamata hanya menatap lurus ke arah Ina.

“Maaf, adik tidak boleh masuk ke sini.”

Ina tertegun. Apakah pria itu sedang berbicara dengannya?

“Aku?” Ina menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa tidak boleh?”

“Adik masih di bawah umur, kan? Tempat ini bar, jadi adik belum boleh masuk ke sini.”

Kedua mata Ina membelalak semakin besar. Apa yang barusan ia katakan? Dirinya masih di bawah umur?

Seolah tidak menyadari perubahan ekspresi Ina, pria itu lanjut menoleh ke arah Nancy. “Apakah Anda kakaknya? Mohon maaf, kami tidak bisa memperboleh—”

“Haloo, di bawah umur katamu?” potong Ina dengan suara yang meninggi. Ia bahkan sudah berkacak pinggang dan meninggikan dagunya. “Kata siapa aku di bawah umur? Aku ini seorang mahasiswa!”

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang