7. Part 2

39 9 0
                                    

Sungguh bertolak belakang dengan niat dan keinginan, tapi di sinilah Ina sekarang, berdiri di depan bar Classic Time.

Tepat jam lima Ina tiba di tempat tersebut. Dan nyatanya sudah lebih dari satu jam menunggu dengan gelisah, ia tetap tidak menangkap sosok seorang pun yang mendekat ke gedung yang masih tertutup rapat ini. Sebenarnya jam berapa bar ini dibuka? Beruntungnya, di kala Ina sudah hampir menyerah dan memutuskan untuk pergi, salah seorang pekerja pun tiba dan menyadari kehadiran gadis itu.

“Apa yang kamu lakukan di sini?”

Ina spontan menoleh. Beruntungnya lagi, dari sekian orang yang bekerja di bar ini, dengan cepatnya Ina langsung bertemu dengan pria yang memang ingin dicarinya. Catatan, dengan terpaksa.

“Kamu yang buka pintu?” tanya Ina spontan saat melihat pria berkacamata itu mengeluarkan seikat kunci.

Billy tidak menjawab, lantas memilih salah satu kunci untuk membuka pintu kaca bar. “Ada barangmu yang ketinggalan di sini?” tanyanya kemudian.

Ina menggeleng. “Aku ada perlu denganmu. Bisa bicara sebentar?”

Billy terdiam sesaat. “Apa itu hal penting?”

Kali ini gadis itu mengangguk. “Penting.”

Pria dingin itu tidak langsung memberikan jawaban. Ia melirik jam tangannya dan wajah Ina bergantian. “Aku mau buka toko. Kamu tunggu saja di dalam.”

Usai berkata, tanpa menunggu respon, Billy langsung mendorong pintu dan berjalan masuk. Ina segera menyusulnya.

Di dalamnya gelap gulita, membuat Ina cukup terkesiap sampai Billy menyalakan lampu dari saklar tepat di sebelah pintu. Setelah mendapat penerangan, Ina melihat kondisi bar yang sama seperti biasanya, hanya saja semua kursi telah dinaikkan ke atas meja dalam keadaan terbalik. Billy menurunkan salah satu kursi dan berkata, “Kamu duduk saja. Aku mau beres-beres duluan.”

Menurutinya, Ina langsung duduk di kursi dengan tegap nan canggung bak anak kecil yang pertama kali masuk sekolah. Berada di sudut ruangan, ia yang kurang kerjaan pun mulai memperhatikan gerak-gerik Billy.

Seolah Ina adalah makhluk tak kasat mata, Billy bekerja dengan lincah tanpa terkendala. Pria itu bolak-balik ke dalam dan ke luar, mengambil sesuatu, mengelap, menyapu, lalu lanjut mengepel. Tak makan waktu lama, bau lavender yang khas sudah memenuhi seisi bar ini.

“Lho? Tumben sudah selesai bersih-bersih.”

Di dalam ruangan yang sunyi ini tiba-tiba terdengar suara bariton yang bergema setelah dentingan bel dari pintu. Ina dan Billy serentak menoleh. Ternyata si bartender sekaligus pemilik bar, Jefferson, sudah tiba.

“Ini akunya yang telat atau kamu yang terlalu cepat? Tidak main piano dulu?” Jefferson masih tampak kebingungan.

Billy yang tengah memegang tongkat pel tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan dagunya menunjuk ke balik pundak Jefferson, yang membuatnya menoleh. Pria berkumis itu tersentak saat menyadari ada orang lain selain Billy.

“Hai ...,” sapa Ina dengan senyum canggung.

“Kamu Ina, kan? Kok tumben jam segini sudah datang? Toko belum buka lagi. Sendiri saja? Mana Nancy?”

“Tidak, kok, hari ini aku sendirian saja. Aku ... ada perlu dengan Billy.”

“Dengan Billy?” Jefferson menoleh. “Dia ada perlu apa denganmu, Bil?”

Billy hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh lalu berjalan masuk ke dalam gudang. Jefferson langsung mencibir melihatnya.

“Huh, sok rajin. Ina, kamu jangan tertipu sama dia. Mungkin karena ada yang liatin, dia tiba-tiba jadi rajin begitu. Padahal biasanya dia main piano dulu. Tunggu sampai yang lain tiba dulu baru mulai kerja dia. Pura-pura banget, kan?”

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang