"Belum tidur, Sayang?"
Ana, yang kerap membalikkan badan karena tidak bisa tidur sedari tadi pun menjawab, "Be-bentar lagi, Ma."
"Jangan begadang terus. Besok kelas pagi, kan? Ayo cepat tidur." Winda yang setengah sadar dengan cepat kembali tertidur lagi. Terdengar suara dengkuran pelan.
Sekali lagi, Ana membalikkan badan, posisi sekarang memunggungi Winda. Matanya jelalatan mengamati seisi ruangan yang gelap.
Sudah tiga hari berlalu sejak Ana pergi ke rumah Ricky. Tanpa mencari tahu dulu apakah Ricky mencicipi kue buatan bosnya apa tidak, Ana langsung memutuskan untuk cabut setelah lelaki itu jatuh tertidur—menghindari resiko bertemu ibunya dan dipaksa untuk tinggal lebih lama. Dan setelahnya, Ana tidak mendengar kabar apapun lagi mengenainya. Ia tidak bertemu dengan Ricky di kampus, tidak juga di tempat kerja, bagai hilang ditelan bumi. Raib.
Ana sekarang dihantui oleh rasa gelisah dan kekhawatiran. Jelas mereka berdua tidak ada hubungan apa-apa. Ia juga sudah berulang kali mensugesti dirinya untuk tidak perlu perhatian pada pria itu yang jelas tidak kekurangan kasih sayang. Ricky punya keluarga, teman, atau siapa saja yang peduli padanya dan akan merawatnya tanpa harus Ana campur tangan.
Lantas, kenapa hatinya tetap bimbang dan tidak bisa tenang?
Masih pada posisi yang sama, Ana tiba-tiba menjulurkan tangan meraih ponsel. Seolah ada yang memerintah, ia turut mengetik sesuatu dengan kecepatan cahaya.
Apa kabar, Ricky? Apa kamu sudah sembuh?
Dan kirim.
Satu detik ... dua detik ... tiga detik ... sampai 1 menit lamanya, Ana yang seketika menghempas HP-nya jauh.
Bodoh, bodoh, bodoh. Kamu bodoh dan gila, Ana, batinnya dengan kesal.
Setelah lama mengabaikannya, kenapa mendadak dirinya jadi sok peduli? Sudahlah kirim pesan tengah malam, malah bela-belain ditunggu balasannya. Tidak ingin memikirkannya lagi, Ana lekas menarik selimut membekap dirinya telak, memaksa diri untuk tidur.
***
Untuk kesekian kalinya sejak pagi ini hingga sekarang duduk di kantin, Ana menguap lebar. Ia sedang menunggu makanannya siap di masak sembari membaca buku. Christine yang sedari tadi duduk di sampingnya pun melirik dengan tatapan aneh.
"Kok akhir-akhir ini kulihat kamu sering nguap? Apa kamu begadang? Tumben banget."
Ana menguap lagi. "Aku hanya kurang tidur. Lagi banyak pikiran."
"Oh ya? Apa yang bisa membuat seorang Diana jadi begadang hanya untuk memikirkan sesuatu? Tentang kerjaankah? Masalah keluarga? Atau jangan-jangan tentang Ricky?"
"Ngawur," bantah Ana cepat seraya mendorong jauh wajah Christine yang hampir menempeli pipinya. “Makanan kita belum selesai, ya? Aku sudah mulai lapar, nih.”
“Entahlah, mungkin ramai yang pesan hari ini. Eh, itukan Ricky?" ujar Christine mendadak, seketika membuat Ana mendongak. "Sini, Ricky, duduk di sini!"
Ricky—dengan gaya rambut yang sengaja diacakkan seperti biasa, mengenakan kemeja kotak panjang berdalaman kaos dan celana jeans hitam—yang sedang berjalan pun menoleh. Ia melihat Christine sedang melambai kepadanya, kemudian berpindah saling tatap dengan Ana. Ia menyunggingkan bibirnya lebar. Ana buru-buru memalingkan wajahnya.
"Hai, Ric," sapa Christine begitu Ricky sudah tiba di depan mereka. "Ke mana aja kamu 3 hari ini tidak masuk? Sakit lagi, ya? Baru sembuh?" lanjutnya lagi.
Ricky tertawa ringan. "Ya begitulah," jawabnya singkat enggan menjelaskan. Ia kemudian duduk dan menguap lebar, tidak kalah dari Ana. "Kalian mau makan siang ya? Sudah pesan?”
Christine mengangguk. Baru saja ia hendak mengatakan sesuatu, mesin pager antrian makanan mereka berbunyi. “Pas banget, makanannya sudah siap. Aku pergi ambil dulu,” ucapnya sambil berlalu, meninggalkan Ricky dan Ana berduaan.
"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Ana langsung, menyadari sedang diperhatikan.
Ricky tersenyum lebar, cukup menggoda. "Apa hanya perasaanku saja, atau tiga hari ini tidak bertemu kamu jadi tambah cantik?"
Dahi Ana mengernyit. Pria ini mulai lagi.
"Jujur aku kangen padamu. Kamu pasti kangen padaku juga, kan?"
"Aku itu tidak—"
Tiba-tiba Ana menyadari sesuatu. Ia lekas mengambil ponselnya keluar dari saku celana. Ia mengingat sebuah kesalahan besar yang seharusnya tidak ia lakukan semalam. Ricky pasti menulis sesuatu dan sekarang ia lanjut mengoloknya ....
Chatting-an centang dua, tanda telah dibaca. Tapi tidak ada balasan.
"Kenapa kamu tidak membalasku?"
Ricky sedikit terkesiap. "Apa? Balas apa maksudmu?"
Seharusnya ini bukan masalah yang besar bagi Ana. Pesan yang di-read saja sudah sering ia alami, termasuk dengan mamanya sendiri. Tapi kenapa kali ini ia merasa ada sebuah amarah yang muncul dan bergemuruh hebat di dalam dirinya?
Ana menunjukkan layar ponselnya. "Lihat, ku-chat kamu malam tadi, tanya kabarmu. Tapi tidak kamu balas sama sekali," hardiknya. Apakah dia tidak tahu betapa Ana khawatir dengan keadaannya selama ini sampai susah tidur, dan dia malah abaikan begitu saja?
Bukannya segera menjawab dan berusaha meredakan emosi Ana, Ricky justru tampak kebingungan. "Kamu chat aku? Kok aku tidak terima?" tanyanya dengan polos.
Sebelum Ana membentaknya, Ricky bergegas mengeluarkan HP-nya juga. Ia mengecek sekilas lalu berkata, "Aku tidak menerima pesan apapun darimu, Na."
Ana masih tidak bisa mempercayainya. "Coba aku pinjam HP-mu."
Tanpa ada perlawanan Ricky langsung menyerahkannya. Setelah melihatnya, hanya dalam beberapa detik kemudian Ana sudah membelalak kaget serta heran. Sesuai ucapan Ricky, tidak ada pesan masuk dari Ana. Namun, bukan itu yang membuat Ana kaget. Seolah itu adalah HP yang baru dibeli, tidak ada apapun di dalamnya. Wallpaper yang polos, aplikasi standard bawaan, tidak ada game, tidak ada media sosial lain—hanya Facebook dan Whatsapp, Chat History kosong, bahkan Gallery yang dibuka dalamnya hanya ada 3 foto: gerhana bulan, laut tenang, dan foto pasangan suami istri.
"Kamu ... beli HP baru ya?"
Ricky membisu sesaat. "Aku jarang pakai HP. Biasanya hanya telepon dan chatting-an beberapa kali, kalau ada yang penting. Dan ... aku punya kebiasaan ... untuk menghapus bersih semua panggilan telepon dan pesan sebelum tidur."
"Apa?"
Sebenarnya Ana hendak bertanya lebih lanjut lagi, tetapi Chistine sudah duluan tiba sambil membawa dua mangkok bakmi. Bagaikan tidak pernah terjadi percakapan apapun di antara mereka, Ricky yang sudah menerima HP-nya kembali langsung menyambut Christine dengan riang, sementara Ana hanya diam-diam mendengkus.
Sungguh pria yang aneh.
***
TBC part 2 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Romance(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...