16. Demam

44 7 0
                                    

"Apa? Kamu demam?"

Ana yang tengah mengambil makanan pesanan sontak berhenti. Ia memperhatikan Dona—boss pemilik cafe—yang sedang menelepon di sudut counter. Bossnya menyiratkan wajah yang sangat kecewa.

"Baiklah, kamu ingat istirahat, ya. Sudah sembuh nanti baru datang bantu Ibu di cafe," lanjutnya lagi berkata kemudian mengakhiri sambungan teleponnya. Lantas tantenya Kevin menghela napas panjang.

Firasat Ana terasa buruk. Yang dia telepon itu jangan-jangan .... "Bu, telepon siapa?" tanyanya penasaran.

"Ini telepon ke Ricky," jawab Dona dan napas Ana mendadak tercekat. "Akhir-akhir ini sedikit sepi, jadi Ibu mengira bisa meminta Ricky untuk part time bantu genjutkan bisnis. Soalnya setiap dia ada, pelanggan terutama yang perempuan sepertinya bertambah. Kan lumayan."

Dona menghela napas lagi. "Tapi sayang sekali dia sakit. Demam dan flu katanya. Ibu jadi khawatir."

"Ini gara-gara aku."

Dona tertegun. Ana juga kaget dan membelalak. Apakah dia barusan mengungkap keluar suara hatinya?

"Maksudnya gara-gara kamu? Apa terjadi sesuatu antara kamu dan Ricky?" Bossnya melangkah mendekati Ana. "Apa kalian berdua pacaran?"

"Aku—ti, tidak!" Seketika wajah Ana memerah. Dia jadi salah tingkah. "Ibu jangan mengada-ngada, aku dan Ricky—kami tidak pacaran!"

Tante Kevin mengangkat sebelah alisnya lalu tersenyum miring. "Benar kalian tidak pacaran? Kok kamu jadi gugup begitu? Apa jangan-jangan kalian masih dalam masa pedekate?"

"Tidak!" seru Ana cukup keras—membuat orang sekitar menoleh padanya. Ana berdeham. "Kemarin dia memboncengku pulang. Setengah perjalanan hujan, jadi dia basah kuyup karena dia berikan jaketnya padaku."

Kedua mata Dona menyipit, serentak dengan bibirnya yang tersenyum lebar hingga dua pipinya membulat. "So sweet banget, ya, kalian. Kapan resmi jadiannya?"

"Ibu!" Wajah kesal Ana semakin memerah. Ingin ia berkata sesuatu, tapi seolah tersadar Ana pun segera mengantar makanan pesanan yang sudah lama terhias di nampannya ke pelanggan. Dona hanya tersenyum melihat tingkahnya.

"Apa tidak keterlaluan nih, godaan Ibu? Lihat, wajahnya sampai merah seperti itu," ucap Tari—salah satu barista—yang kebetulan mendengar percakapan mereka.

Dona mengibaskan tangannya. "Gak pa-pa, gak pa-pa. Bukankah lebih bagus? Jarang-jarang bisa mendengarnya membahas tentang laki-laki, sampai khawatir padanya. Kamu tidak lihat, wajahnya langsung sedih waktu tahu si Ricky demam."

"Oh ya? Anak kesayanganmu ternyata bisa jatuh cinta juga, Bu Bos."

Dona tersenyum sekilas lalu membuang napas pendek. "Sayangnya dia terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Bahkan sepertinya dia sendiri tidak sadar dia sudah jatuh cinta."

Tari menopang dagunya ke meja counter. "Untuk anak itu sadar sendiri sih ... kayaknya butuh waktu yang lama. Dia cukup cerdas dalam segala hal tapi ternyata sangat bodoh dalam hal cinta. Ana benar-benar tidak peka soal begituan."

"Sepertinya dia butuh dorongan."

Tari menoleh ke arah bosnya. Ia terlihat sedang memikirkan suatu rencana. Sebagai pegawai lama, Tari mengenal jelas atasannya yang dramatik ini. Sepertinya akan terjatuh sesuatu beberapa saat kemudian ....

***

"Ibu ingin aku mengantarnya?"

Dona mengangguk dengan kuat. "Iya, Sayang. Ini menu baru yang belum resmi dikeluarkan. Ricky pandai dalam mencicip dan memberi penilaian jadi aku ingin kamu membawa cake ini untuk dia cicip."

Dona menyerahkan sebungkus kotak kue kepada Ana, tapi ditolaknya. "Kenapa harus aku? Bukannya Harry ada masuk kerja hari ini? Kan dia yang bagian mengantar makanan," ucap Ana dengan bingung.

"Harry baru saja keluar antar makanan pesanan. Kalau tunggu dia balik, cake ini keburu basi. Kamu tahu alamatnya, kan? Jadi kamu saja yang antar, ya?" Dona menyerahkan lagi bungkusan tersebut, dan kali ini dengan paksa.

"Bukannya Ricky sedang demam, ya? Mana mungkin dia ada selera makan cake manis seperti ini sekarang?"

"Oh, tenang saja. Tidak langsung dimakan pun tidak apa-apa kok. Cake buatan Ibu kalau disimpan dalam kulkas tidak akan rusak."

Ana mengernyit. "Lho? Tadi katanya kalau gak cepat antar takut basi—"

"Sudah, sudah, kamu buruan pergi! Bentar lagi sore, tak baik kalau kamu tibanya malam hari dan menganggu orang istirahat. Pokoknya kamu antar ini sampai tujuan. Cepat pergi cepat pulang, ya. Hati-hati di jalan, titip salam. Oh ya, jangan lupa untuk tanyakan penilaiannya juga nanti." Tak ingin beri Ana kesempatan untuk menolak, secepat kilat Dona mendorong Ana keluar dari cafe—tak lupa menyerahkan helm dan kunci motor miliknya.

Meskipun begitu, Ana masih bersikeras untuk menolak. "Tapi, Bu, bentar lagi sudah mau jam makan. Kalau aku pergi, apa nanti tidak kewalah—"

"Ah, sekarang lagi sepi, kok. Gak usah dipikirkan. Tugasmu sekarang adalah mengantarkan cake ini selamat sampai tujuan. OK?"

"Tapi aku—"

"Sudah, jangan banyak alasan! Kalau kamu menolak, Ibu akan potong gajimu!"

Kedua mata Ana melotot lebar. "Kok, kok begitu, sih? Ibu!" serunya dengan kesal, tapi bossnya yang masa bodoh hanya melambaikan tangan lalu masuk ke dalam café tanpa menoleh lagi. Lantas Ana menjerit tertahan.

Sebenarnya apa yang telah terjadi? pikir Ana sungguh kebingungan. Hanya karena sedikit "lebih" mengenal Ricky, jadi dia dipaksa untuk mengantar makanan? Atau gara-gara dia curi dengar dalam jam kerja jadi atasan menghukumnya? Lebih dari itu semua, kenapa harus mengantar makanan ke Ricky tiba-tiba begini? Tanpa pemberitahuan lagi. Kepala Ana mendadak pusing.

"Ya sudahlah, daripada gajiku dipotong. Ini tidak masuk akal sama sekali." Dengan mulut yang masih tidak berhenti mengomel, Ana menaiki motornya lalu mulai melaju ke jalan. Tujuan: rumah Ricky.

***

TBC ke part 2 😘

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang