"Halo?"
"Hei, Billy! Akhirnya kamu angkat juga, dari tadi kutelepon nada sambung terus. Aku kira terjadi sesuatu pada--"
"Mulai hari ini aku berhenti."
"Hah? Apa kamu bil--"
Billy mengakhiri pembicaraan mereka, sekaligus mematikan daya ponselnya. Sebelum telepon kepada Jefferson, ia sempat melihat ada sekitar puluhan missed calls, semua berasal dari bosnya dan kedua orang tuanya. Billy tahu, mereka semua mengkhawatirkannya. Akan tetapi, hanya kepada Jefferson sendiri ia telepon. Kalau untuk kedua orang tua ... mereka seharusnya sudah tahu keadaan Billy yang sedang tidak ingin diganggu. Mereka pasti tahu.
Billy mengalihkan pandangan kepada Ina. Gadis ini, setelah puas menangis tanpa pemberitahuan selama beberapa saat, ia pun kelelahan dan kini tertidur di pangkuan Billy. Seolah tingkahnya ini belum cukup nekat, Ina menggenggam jemari Billy dengan kuat di dalam lelapnya, tidak dapat dilepas.
"Kenapa ... menahanku?" gumam Billy sangat pelan dengan tiba-tiba.
Diamatilah gadis di pangkuannya ini dengan seksama. Wajah Ina berbentuk bulat berukuran kecil. Alisnya natural cukup tebal, bulu mata pun panjang dan melentik. Hidungnya kecil dan sedikit pesek, kontras dengan bibirnya yang lumayan tebal. Jika mau dirangkum, wajah Ina adalah wajah anak remaja sebelum akil baligh, masih imut-imutnya. Billy mengingat kembali bagaimana awal pertemuan mereka dan menyangka Ina masih kecil, tidak diizinkan masuk ke dalam bar. Ia tersenyum kecil membayangkan kejadian tersebut.
Tiba-tiba, wajah tenang Ina berkerut sedikit. Setetes cairan bening mengalir lagi dari matanya yang sudah mulai membengkak dan sembab dari bekas menangis tadi. Ia lanjut merintih pelan dengan suara yang kurang jelas. Apakah Ina sedang bermimpi sesuatu yang tidak menyenangkan?
Dengan sebelah tangan yang terbebas, Billy mengusap lembut kepala Ina. Ajaibnya, gerakan yang sederhana tersebut mampu membuat mimik wajah Ina kembali tenang, sekaligus melepaskan genggaman eratnya tadi terhadap Billy, lebih rileks. Kesempatan, pemuda berkacamata ini pun mengangkat naik tubuh Ina, membopongnya masuk ke dalam kamar untuk istirahat--sudah bertanya pembantu, ada di lantai yang sama. Begitu tiba, tanpa menunggu Billy langsung menurunkannya di atas kasur yang besar.
Sebenarnya, gerakan Billy sangat berhati-hati dan pelan. Namun ternyata, kedua mata Ina turut terbuka saat kepalanya menyentuh bantal.
"Billy ...?" Ia masih setengah sadar. "Kenapa kamu ... ada di kamarku?"
"Kamu tertidur. Aku membawamu masuk," jawab Billy singkat.
Ina yang sudah mulai tersadar malah bersikap gugup. "Ah, ya, te, terima kasih ... dan maaf, sudah merepotkanmu."
Billy tersenyum kecil. "Kalau untuk pacarku, tidak ada hal yang merepotkan bagiku."
Pacar. Senyum canggung yang sempat singgah di bibir Ina berubah datar. Tatapan matanya lurus ke depan, memandang langit-langit polos bersih, berbanding terbalik dengan kondisi kamarnya yang berserak akan peralatan melukis.
"Billy ... apa kamu menyukaiku?"
Wajah Billy tidak membuat ekspresi apapun, hanya menatap tajam kepada Ina. "Kalau kamu? Apa kamu menyukaiku?" tanyanya balik.
Jika pada hari-hari biasa, Ina pasti akan kesal dan ingin menghajar Billy atas keusilannya. Tapi kali ini, Ina tidak ingin melakukan apapun. "Aku tidak tahu," jawabnya sungguh-sungguh.
"Kalau begitu, kenapa kamu menahanku?"
Billy dan Ina saling bertatapan.
"Kenapa kamu memaksaku menerima kenyataan ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Romance(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...