12. Part 2

34 7 0
                                    

"Ana."

Ana tidak menjawab.

"Diana Arlenne."

Ana tetap tidak menggubris.

Christine beringsut mendekat lalu bergelayut manja kepada Ana. "Ana sayangku cintaku, jangan abaikan aku," ucapnya.

Tidak termakan buaian, Ana segera menepis pelukan Christine dan mendeliknya tajam. "Sini perpustakaan, Chris. Pelanin suaramu," bisiknya lalu kembali fokus pada laptopnya.

Christine cemberutan. "Gak mau cerita ya udah, aku cari narasumber lain." Siap berkata, ia langsung menggeserkan kursinya kali ini mendekati Ricky yang duduk di seberang. "Ricky sayang," panggilnya lembut.

Ricky yang sedang tidak fokus langsung menyambutnya dengan hangat, "Ada apa, Christine cintaku?"

"Aku ada pertanyaan, nih. Dijawab dong."

"Pertanyaan apa, Sayang?"

Sempat melihat kedua mata Ana yang melotot mereka hampir copot, Christine pura-pura mengambil buku dan sembarang menunjuk salah satu bait; berbisik di telinga Ricky, "Apa yang Ana lakukan di kamarmu?"

Mengikuti permainannya, Ricky juga sengaja menatap balik lototan mata Ana dan balas berbisik ke telinga Christine, "Aku digebukin."

Christine tawa tertahan. "Digebukin gimana? Jangan-jangan kamu melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya?"

"Aku tidak tahu apa-apa, swear. Dia tiba-tiba sudah di atas kasurku lalu geb—"

"Ok, ok, sesi tanya jawabnya sudah berakhir," sela Ana dengan mendadak tepat di tengah mereka lalu mendorong masing-masing kepala mereka menjauh. Lantas ia menunjuk Ricky. "Kamu, kerjakan soal ini. Christine, kamu pergi cari buku ini yang seri kedua di rak B-51. Dan kamu,"—Ana menunjuk pria yang duduk di samping Ricky—"siapa namamu?"

Pria yang tengah bermain game di ponselnya dengan sebelah telinga yang terpasang earphone pun menengadah. "Irvan," jawabnya.

"Oh ya, Irvan. Irvan, kamu jangan main game terus. Kamu bantu Christine cari buku sana. Sekalian dua buku ini lagi, sepertinya berguna," ujar Ana pelan seraya memberikan secarik kertas bertuliskan judul buku yang diinginkan. Setelah menghela napas pendek, Irvan pun menerima kertas tersebut dan pergi menyusul Christine.

Ikutan membuang napas, sontak Ana kembali duduk di tempatnya. "Baiklah, kembali bertugas," gumamnya menyemangati diri sendiri. Meskipun sudah terlanjur berkelompok dengan tiga orang yang tidak begitu meyakinkan dapat bekerja sama, setidaknya Ana butuh sebuah ketenangan. Itulah alasan Ana memilih perpustakaan sebagai tempat mengerjakan tugas. Selain tenang dan lebih mudah fokus, tempat ini juga memiliki banyak sumber data yang tidak semua bisa didapatkan dari internet. Dan yang terpenting tentunya adalah Ana bisa menghindar sejenak dari obrolan recehan Christine yang tidak akan pernah berakhir.

Cepatnya 15 menit telah berlalu, namun kedua orang yang diutuskan untuk mencari buku masih belum kunjung kembali. Ana yang sepertinya masih belum menyadari tetap fokus mengerjakan tugas bagiannya dengan serius, sedangkan Ricky yang nyatanya sudah selesai dari tadi hanya bisa meratapi kebosanan. Ricky melongok dari laptopnya melihat Ana.

"Perlu bantuan?" tawarnya.

Ana yang tidak sadar hanya bergumam pendek. Ricky ulang bertanya, "Apa kamu perlu bantuan? Aku sudah siap bagianku."

"Kamu sudah siap?" ulang Ana sambil menengadah dan sedikit terkejut. "Mana coba lihat. Kamu gak ngasal kerja, kan?"

"Mana ada. Analisisku pasti dijamin betul dan akurat 110%. Nih, kalau gak percaya coba lihat," sahut Ricky sambil menyodorkan laptopnya ke arah Ana.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang