28. Kejutan

5 3 0
                                    

Hari ini tanggal 1 Februari. Ana memandang kalender di ponselnya, berkali-kali, lalu melamun.

"Kenapa belum dimakan sarapannya, Nak?”

Ana terkesiap. Winda, mamanya, yang tadi sedang sibuk di dapur sudah bergabung bersama anaknya di meja makan. Ana buru-buru menggeleng sembari meletakkan ponselnya di atas meja. “Enggak kok, Ma. Gak ada apa-apa,” elaknya lalu mulai makan dengan cepat. Buburnya sudah dingin.

Winda juga mulai menyendok buburnya. “Temanmu yang kemarin antar kamu pulang itu, apa kabarnya sekarang?”

Tangan Ana berhenti. “Kenapa Mama tiba-tiba bertanya tentangnya?”

“Mama hanya penasaran, sih. Soalnya sejak hari itu dia tidak datang main lagi ke sini. Dia sudah tidak sakit lagi, kan? Dia ... siapa namanya?”

“Ricky, Ma.”

“Oh, ya, benar, Ricky. Makanya sering ajak ke sini biar Mama ingat namanya, Ana.”

Ana memilih untuk tidak menjawab, lantas berdiri dari kursinya. “Ana sudah selesai, Ma. Mau cuci piring dulu,” ungkapnya kemudian.

Ting tong.

Tepat ketika Ana memasuki dapur, bel rumah mereka berbunyi. “Biar Ana yang buka,” ucapnya saat melihat Winda hendak berdiri, sontak beranjak ke depan pintu rumah mereka yang hanya berjarak beberapa meter dari ruang makan.

“Siapa—”

Dan seketika itu suara Ana tercekat, disertai dengan mata yang membelalak. “Kamu?!”

“Siapa yang datang, Nak?” tanya Winda penasaran, yang ternyata menyusul putrinya ke depan lantaran jarang ada yang bertamu ke rumah mereka. Wanita itu juga ikut serta membelalak saat menyadari siapa yang datang, kemudian berganti tersenyum lebar.

“Ricky! Selamat datang!” sambut Winda begitu antusias, bahkan sampai memeluk ringan pria muda itu saking semangat. “Apa kabar, Nak? Kamu sehat?”

Ricky, dengan penampilan ala anak berandalnya—dalaman polos dikombi kemeja motif kotak dengan celana jeans sedikit berlubang, tersenyum pulas juga kepada Winda. “Kabar saya baik, Tante, sangat sehat. Tante sendiri sehat?”

“Oh, tenang saja, Tante sangat sehat juga. Apa kamu tahu, Nak? Barusan Tante sama Ana bahas kamu, kamu langsung muncul! Apa jangan-jangan kamu punya kekuatan telepati?”

Ricky tersenyum ramah, sedangkan Ana membuang muka.

“Ada perlu apa kamu datang kemari?” tanya Ana dengan nada sesopan mungkin, tapi tetap terdengar dingin dan jutek—punggungnya ditepuk oleh Winda.

“Apa kamu bisa izin tidak pergi kerja hari ini?”

Ana menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa?”

Ricky tersenyum lagi, misterius. “Temani aku ke suatu tempat.”

***

Di bawah sinar matahari yang tidak begitu terik pagi ini, terlihat gelombang air laut pasang silih berganti membasahi pasir. Hembusan angin lumayan sepoi, membuat dedaunan pohon kelapa melambai-lambai ria. Selain warga setempat yang tinggal di daerah sini dan membuka warung, tidak terlihat lagi pengunjung lain berekreasi di pantai yang tenang ini. Terkecuali Ricky dan Ana yang sedang duduk di atas pasir, berteduh di bawah pohon, memandang lautan biru.

“Tenangnya,” ucap Ricky memecah keheningan. “Sudah lama aku tidak datang kemari.”

“Hanya ada kita berdua,” timpal Ana, setelah duduk di sini selama 30 menit dan yakin tidak ada siapapun yang datang selain mereka.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang