8. Part 2

39 7 0
                                    

“Ini pesanannya dua ice caramel cappuccino, satu chicken club sandwich, dan satu chocolate mousse cake. Silakan menikmati.”

Ana mengamati dari sudut. Setelah mengulang nama pesanan dengan tepat, Ricky yang bertugas sebagai waiter dadakan ini meletakkan makanan tersebut dengan rapi di hadapan pelanggan. Tak lupa, ia juga menyuguhkannya dengan senyuman simpul, yang nyatanya berhasil membuat kedua perempuan yang dilayaninya sampai lupa berkedip bagai terhipnotis. Sudah hampir memasuki jam makan siang, dan sejauh ini Ricky masih aman, tidak membuat masalah.

“Bagaimana? Service-ku bagus, kan?” tanya Ricky terang-terangan kepada Ana. Ternyata ia menyadari kalau perempuan ini sedang memperhatikannya.

Ana membuang muka. “Lumayan,” jawabnya ketus, lalu mundur menjauh dengan refleks. “Mau apa kamu dekat-dekat? Kamu mau melakukan sesuatu lagi?”

Melihat Ana berancang-ancang mengangkat nampan kayunya, Ricky spontan mundur juga sembari mengacungkan kedua tangannya. “Ops, santai, Nona. Aku tidak ngapa-ngapain, kok. Swear.

“Bagus kalau begitu.” Ana menurunkan tangannya. “Jadi mau apa kamu datang lagi? Pakai jadi helper part time segala.”

“Itu, aku diminta bantu sama temanku. Bos adalah tantenya. Kamu kenal kok, si Kevin.”

“Asdos? Kamu temenan dengannya?”

“Boleh dibilang begitu. Kami dulunya seangkatan.”

“Oh, begitu.” Ana manggut-manggut. Ricky memang mencurigakan, tapi karena yang merekomendasikannya adalah Kevin yang Ana kenal sebagai pria baik-baik, harusnya tidak akan bermasalah besar.

“Ya sudah, aku balik kerja dulu. Ada yang su—”

“Tunggu,” potong Ricky mendadak sambil menahan pundak Ana. Jantung Ana serasa meloncat saking kaget.

“A-ada apa?”

Ricky tampak ragu sesaat. “Itu ... soal yang kemarin. Aku tahu kamu pasti membenciku, tapi aku hanya kehabisan akal dan tidak bisa berpikir rasional, makanya aku memanfaatkanmu dan bertindak sembrono. Jadi ... aku minta maaf, Ana. Tidak seharusnya aku berbuat seperti itu tanpa meminta izin ....”

Ana tidak menyahutnya. Melihat kedua netra coklat Ricky yang tajam dan sangat serius menatapnya, Ana tanpa sadar membatu di tempat. Ia bisa merasakan jantungnya yang berdebar sangat kencang ... tidak, tidak. Wajah Ricky memang tampan, tapi Ana tidak mungkin berdegupan kepadanya. Ini hanya bekas degup terkejut tadi.

Ana menarik pundaknya cepat. “I-iya, aku maafkan. Lain kali jangan begitu lagi. Sudah, ini banyak pelanggan datang. Aku pergi dulu.”

Tanpa peduli reaksi maupun respon Ricky, Ana buru-buru berbalik dan mengacir pergi.

***

Sesuai prediksi, pelanggan yang datang ke cafe jauh lebih banyak daripada biasanya, berkat acara dan juga cuaca yang lumayan terik hari ini. Selain yang datang untuk duduk bersantai sekadar menyejukkan diri dengan AC, banyak juga yang take away untuk dimakan sambil nonton di luar. Selain itu, dikabarkan acara road show tersebut akan berlangsung hingga malam hari, sehingga keramaian di cafe masih belum surut juga meski hari sudah mulai sore.

“Terima kasih. Silakan datang lagi,” ucap Ricky ramah seraya membungkuk sopan mengantar kepergian pelanggan.

Ricky membuang napas lalu melirik jam tangannya. Karena keasyikan bekerja ke sana-sini melayani tanpa bisa berhenti, tak disangka waktu berlalu begitu cepat, sudah jam empat sore, shift kerjanya sudah selesai. Sontak, ia berjalan ke arah counter lalu melepaskan celemek pendek yang melingkar di pinggannya. Aksi tersebut terlihat oleh Sang Bos.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang