25. Mengirim Pesan

19 4 2
                                    

Matanya mengerjap-ngerjap sekilas, lalu terbuka. Pandangannya kabur. Dengan cepat ia meraih saku jaketnya, mengeluarkan kacamata, lalu memakainya. Sudah bisa melihat. Billy sudah sadar.

"Sudah bangun?"

Mendengar adanya suara, Billy yang sempat kebingungan di mana dirinya berada kali ini menoleh dengan cepat. Terlihat Ina yang sedang duduk di sofa ukuran single yang besar dan empuk. Ia memandang ke arah Billy dengan seksama.

"Ina ...? Ini di mana?" tanyanya dengan suara rendah penuh kewaspadaan.

"Tenang, kamu sedang berada di rumahku sekarang." Ina menyerahkan segelas air putih kepada Billy. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" lanjutnya bertanya.

Billy meneguk minumannya. "Aku tidak merasakan apa-apa sekarang," jawabnya.

"Oh, begitu ...."

Kesunyian sejenak. "Bagaimana ... aku bisa berada di sini?"

Terus terang, Billy mengharapkan sebuah keajaiban dari jawaban Ina. Sayang sekali, realita tetaplah realita, sebagaimana yang ia ketahui tapi setia dia sangkal.

"Kamu datang sendiri tanpa ada paksaan. Dengan kesadaran Ricky tentunya."

Baiklah, Billy sudah merasakan sesuatu sekarang. Rasa sakit, kesal, dan muak berkecamuk mencabik-cabik hatinya. Baru saja sadar dan ia sudah disuguhi kenyataan yang memahitkan ini. Kenyataan bahwa dia, tubuh dia bukan lagi milik dia seorang. Dia dan Ricky ... adalah satu kesatuan tapi berbeda.

"... Bagaimana reaksi Ricky?" tanyanya pelan. Apakah Ricky juga sama kecewanya dengan dirinya?

Ina tampak segan untuk sesaat, sebelum akhirnya memberikan jawaban yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Billy. "Ricky ... dia biasa saja."

"Apa maksudmu dia biasa saja?"

"Reaksinya biasa-biasa saja, Bil. Dia sedikit terkejut, tapi gitu saja. Tidak sedih, tidak marah, santai saja."

Pria berkacamata itu seketika tersenyum kecut. Apa yang barusan dia dengarkan? Ricky tidak bereaksi terhadap kondisi mereka? Billy paham kalau saudaranya itu sejak kecil mempunyai sifat yang acuh tak acuh kepada semua hal. Itu adalah kelebihan sekaligus kekurangannya, karena ia terlihat seperti makhluk yang tidak berperasaan. Dan saat ini, Billy merasa sangat terluka mengetahui fakta ini. Ia merasa dikhianati oleh sosok yang tidak kasat mata baginya. Saudaranya yang bukan saudaranya, dirinya tapi juga bukan dirinya.

"Ricky sudah sadar?"

Mereka berdua yang ada di ruang tamu serentak menoleh ke arah datang suara. Orang yang berbicara barusan adalah Ana. Ia termenung sejenak menatap Billy, sebelum berjalan mendekat dan memutuskan untuk bergabung juga.

"Bagaimana keadaanmu, Ric--maaf, salah, Billy. Kamu Billy sekarang." Ana memalingkan wajahnya, menghindari beradu tatap dengan Billy. Dari gerak-geriknya bisa ditarik kesimpulan bahwa Ana masih belum terbiasa dengan perubahan pria di hadapannya. Lebih tepat, belum bisa menerima kenyataan aneh ini.

Sama halnya dengan Billy sendiri.

"Aku ... tidak bisa menerima ...."

Billy berganti tersenyum sangat sinis dan dingin, bibirnya pun bergemetaran. Rasa perih yang menyerangnya, segala pikiran yang penuh akan penolakan ini membuat dadanya terasa sangat sesak. Kesakitan yang sama seperti kemarin malam kembali terasa, bahkan lebih nyata dan lebih menyiksa kali ini.

"Apa kami ... benar orang yang sama?"

Oleh keraguan yang diucapkan Billy lagi, Ina dan Ana kembali terdiam seribu bahasa. Wajah mereka berdua sudah terlipat, kerap membandingkan dua kepribadian itu. Satunya menerima begitu saja tanpa bertanya, sedangkan yang satunya masih terus menyangkal meski sudah kesekian kali dirinya disuguhkan langsung kenyataan ini. Apalagi yang bisa dilakukan untuk membuatnya menerima keadaannya?

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang