7. Request

54 9 17
                                    

Bruk!

Ina mengerjap. Dengan kondisi setengah sadar, ia perlahan menoleh ke samping. Ternyata asal suara keras tadi dari palet cat kayunya yang terjatuh. Lantas ia mengucek mata beratnya, ngulet sembari menguap lebar.

“Aduh, leherku pegel ...,” gerutunya kemudian, menyalahkan diri sendiri ketiduran di kursi sandar yang sangat tidak nyaman semalaman.

Setelah sadar total, Ina refleks menatap jam dindingnya, pukul tujuh pagi lewat sepuluh menit. Hari ini dia tidak ada kelas, tapi tetap bangun pagi karena terbiasa. Padahal ia semalam begadang hingga larut. Sempat terlintas untuk melanjutkan tidurnya, tapi batal karena menyadari sesuatu.

Pada ruang kamarnya dengan luas sekitar 6x6 persegi, selain perabot umum untuk kamar tidur, terlihat perlengkapan lukis dan canvas lukisan bertebaran di mana-mana. Tepat di depan kasurnya berdiri sebuah lukisan burung merak yang setengah jadi. Meskipun karya tersebut belum selesai, keelokan dari burung yang dilukis sudah tersirat jelas dari goresan-goresan yang diberikan. Hanya saja tepat di bagian bulu ekor merak, terlihat satu garis warna coklat yang janggal dan merusak pemandangan. Sepertinya itu adalah goresan dari kuas Ina yang tak sengaja dibuat karena ketiduran.

Ina membuang napas lega. “Untung saja ini cat minyak, bisa kutimpa lagi. Mati aku kalau akrilik, harus ulang dari awal,” gumamnya kepada diri sendiri.

Berhubung Ina tidak lagi mengantuk dan dalam mood melukis, ia segera memungut palet catnya dan mulai memperbaiki lukisan, lanjut menyelesaikannya. Satu demi satu goresan Ina lukis sepenuh hati, mengerahkan seluruh fokusannya ke dalam gambar. Tanpa sadar, satu jam yang bagaikan limat menit telah berlalu, Ina menyelesaikan sudah karyanya. Tinggal tunggu kering.

Berbeda dengan cat air maupun cat akrilik yang cenderung cepat kering, cat minyak membutuhkan waktu mulai dari satu minggu hingga beberapa bulan untuk mengering seluruhnya. Maka dari itu selama proses pengeringan, setiap lukisannya akan ia tutup secara hati-hati dengan kain bersih, dengan catatan menghindari menyentuh permukaan canvasnya juga. Usai mengamankan karyanya, Ina pun melangkah keluar dari kamar sambil menguap lagi.

“Selamat pagi, Non,” sapa salah satu pembantu yang bertugas menunggui kamar tidurnya, kemudian dengan spontan mengikuti anak majikannya menuju ruang makan di lantai dasar.

“Apa ada orang di rumah?”

“Ada, Non. Nona Marina lagi sarapan di bawah,” jawab si pembantu dengan sopan.

Ina mengangguk paham lalu mengibas tangannya, gerakan meminta pembantu untuk pergi, tidak perlu lagi mengikutinya. Menuruti instruksi, pembantu muda itu pun membungkuk hormat dan berdiam di tempat, Ina melanjutkan perjalanannya.

Setibanya di ruang makan—yang cukup luas untuk dijadikan satu rumah kontrakan, Ina mendapati kakaknya, Marina, sedang makan seorang diri di meja besar berbentuk persegi panjang untuk empat belas kursi. Marina menyadari kehadiran adiknya.

“Oh, sudah bangun, ya?” Marina mengamati penampilan adiknya sekilas. “Kamu belum mandi?”

Mendengarnya, Ina refleks menunduk melihat juga tubuhnya sendiri. Meskipun ia selalu menggunakan celemek saat melukis, ternyata sekeliling pakaian dan kedua lengannya tetap belepotan terkena cat. Ditambah lagi dengan rambut bangun tidurnya yang lupa dirapikan dulu, Ina hanya cengengesan.

Marina yang sudah rapi berbalutan gaun mini ketat berwarna hitam, dengan polesan make up nude elegan di wajah tirusnya hanya membuang napas. “Kakak sudah peringatkan, biasakan rapi sebelum keluar dari kamarmu. Bagaimana kalau tiba-tiba ada tamu apalagi wartawan? Jangan buat malu, Mirina.”

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang