Unavoidable bitterness

99 18 1
                                    

Pahit, sepekat pahitnya kopi hitam yang menemani di tengah malam. Hari ini Julian mendapat kabar tidak menyenangkan setelah hari-hari sebelumnya menyejukkan hatinya. Penyakit bundanya semakin parah, Julian pada akhirnya tahu jika bunda jarang meminum obat ketika Julian tidak dirumah, Bunda tidak pernah mengatakan jika ketika Julian tidak di rumah, wanita itu tidak bisa berdiri dengan kuat, terkadang terjatuh di atas lantai dan berdiri setelah satu jam energinya habis disana.

"Ian marah sama bunda."

Bunda yang sedang tertidur diatas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di punggung tangannya dan selang oksigen yang membantunya bernafas. Bunda menutup matanya, membuat Julian sesak menatap wajah sang ibunda.

"Bunda kenapa gak bilang kalau bunda makin sakitt, maafin Ian bun. Ian bukan anak yang baik buat bundaa."

Derit pintu yang bergesekan dengan lantai rumah sakit menarik atensi Julian, laki-laki itu menghapus titik air di sudut matanya yang hampir saja lolos dari sana.

"Siapa yang bilang kamu bukan anak yang baik?"suara bariton itu membuat Julian terkesiap.

Ayah dari Jihan menghampirinya, menepuk pundak remaja laki-laki itu, memberi kekuatan padanya. Wanita disebelah Baskara yang Julian yakini adalah istri pria itu juga mengatakan hal sama.

"Jangan berpikir begitu nak, ibu kamu pasti bangga punya anak sehebat kamu."

Sepasang suami istri inilah yang membawa bunda ke rumah sakit. Julian sedang di sekolah ketika bunda dikabarkan tidak sadarkan diri di depan rumah dan bertepatan dengan itu ayah, ibu Jihan datang hendak berkunjung, sehingga para tetangga disana membiarkan bunda dibawa ke rumah sakit oleh Baskara. Julian langsung kemari setelah mendapat kabar bahwa bunda sedang di rumah sakit dari Baskara sendiri. Beberapa menit lalu bunda sempat sadar, menjelaskan kenapa dirinya bisa terjatuh dan pingsan. Tapi setelahnya menjelaskan itu, bunda kembali tak sadarkan diri sampai sekarang, Julian merasa dunianya runtuh saat ini juga.

"Dokter bilang ibu kamu akan baik-baik saja, Julian."ujar Isa mencoba menguatkan Julian.

Hening menghinggapi ruangan itu, hanya terdengar suara teratur yang ditimbulkannya elektrokardiogram. Isa menatap Bunda Zahra yang masih saja enggan membuka matanya, Isa bisa memahami bagaimana hancurnya Julian saat ini, seseorang yang amat berharga baginya, satu-satunya orang yang menjadi tumpuannya hidup kini terbaring tak berdaya dihadapannya.

Suara pria berdeham mengalihkan atensi Julian dari sang ibunda. Ia menolehkan pandangannya pada Ayah Julian yang masih berdiri di dekatnya bersama Isa.

"Julian, Om mau bertanya sama kamu."ujar Baskara.

Julian berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadap Baskara, dirasa posisinya yang tadi kurang sopan. "Ada apa om?"tanyanya.

"Sebenarnya ini bukan pertanyaan serius, lebih baik kita duduk dulu."ucap Baskara sembari mendahului Julian untuk duduk di sofa yang ada di dalam ruangan.

Baskara menghela nafasnya "Om hanya ingin tau, seberapa dekat kamu dengan Jihan, bagaimana kalian bertemu dan kenapa Jihan mengatakan kamu dan bunda kamu adalah rumahnya."

Yang diberikan pertanyaan terdiam sebentar, ia tidak tahu bagaimana cara menjawab ini. Jika mengatakan Jihan dahulu membencinya, apakah itu pantas? dan juga, Julian tidak tahu seberapa dekat mereka hingga Jihan menganggapnya sebagai 'rumah'.

"Untuk seberapa dekat kami, saya juga gak tahu pasti, om. Dulu Jihan bahkan bilang dia gak suka sama saya, temen kami Hani yang buat saya kenal Jihan. Sejak pertama kali Jihan mampir ke rumah saya, Jihan dekat dengan bunda, bunda juga nyaman sama Jihan. Mungkin karena mereka sama-sama nyaman makanya Jihan menganggap bunda sebagai rumahnya."

FEEL IT ; a smile that you have  || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang