Changed

102 26 0
                                    

Jihan berbeda sekarang, gadis itu mulai menyapa Julian, hal yang membuat Julian cukup terkejut. Tapi tak ayal dirinya merasa senang, Jihan mau berteman dengannya.

"Fiks, Jihan suka sama lo!"ucap Devano.

"Ck, gak mungkin."

"Ayolah Ju, lo sendiri gak suka gitu sama Jihan?"tanya Naren geram.

"Sebagai teman, gue sejauh ini cuma bisa ngeliat perempuan sebagai teman. Kalian tau itu"jawab Julian.

Mereka bertiga ada di belakang perpustakaan, bermain bersama seekor kucing yang sering Julian temui. Sedari tadi Devano dan Naren sudah mencercanya dengan asumsi bahwa Jihan menyukai dirinya.

"Gak usah aneh-aneh lagi, Jihan gitu karena emang maunya dia. Gue sama dia cuma sebatas temen."

Naren dan Devano saling menatap dan menipiskan bibir mereka. Julian memang tidak kaku dengan perempuan, tapi laki-laki itu mati rasa, ia tidak membedakan sikapnya sama sekali pada perempuan, tak sedikit teman perempuannya yang salah sangka atau terbawa perasaan.

"Inget, hari ini kerja kelompoknya gak jadi di rumah Julian. Hendra minta di rumahnya dia aja, ortunya nyuruh dia jaga rumah."jelas Naren mengingatkan kedua temannya.

"Iya pak."ucap Devano.

"Huh, bunda harus sendiri lebih lama lagi hari ini."

Julian melamun, ia merasa bersalah karena selalu meninggalkan bundanya sendirian di rumah padahal bundanya sedang sakit. Tapi kalau tidak begitu, Julian tidak bisa membiayai kehidupan mereka, walaupun pamannya—ayah Kirana dan Kinara—mengirimkannya uang setiap tiga bulan sekali untuk biaya sekolah dan hidupnya, Julian merasa tidak enak meminta lebih untuk pengobatan Bundanya dan memilih untuk bekerja.

"Ju, ayo ke kelas."

Ucapan Naren membuyarkan lamunan Julian tentang hidupnya.

"Oh iya."

"Mikirin apa? Jihan ya?"tanya Devano dengan wajah tengilnya.

"Satu-satunya perempuan yang selalu ada dipikiran gue cuma bunda."

.....

"Mau kemana Ji?"tanya sang kakak melihat adiknya menuruni tangga dengan cardigan ungu dikenakannya dan tas punggung putih digendongnya.

"Main, sibuk gak? mau minta tolong anterin."ucap Jihan.

"Yaudah gue anter, sekalian gue mau keluar."

Juan menyetir dengan tenang, sedikit terkejut mendengar adiknya ingin pergi ke rumah Julian. Ada rasa penasaran bersarang di hatinya yang tidak terpuaskan karena jawaban dari Jihan untuk pertanyaannya sama seperti biasa.

"Kepo!"

Ya begitulah, Juan kadang geram dan berusaha untuk membuang adiknya itu, namun sayang sekali, Jihan adalah permata baginya.

"Nanti kalau pulang telepon."

"Iya kakak, daaa."

Sebelum benar-benar turun, Jihan menyempatkan diri untuk mencium pipi kakak laki-lakinya.

Jihan belum mengucapkan permisi dan dia sudah menemukan bunda yang berjalan di teras rumah itu. Ia langsung saja mendongakkan kepalanya agar bisa terlihat dari balik gerbang yang tak begitu tinggi.

"BUNDAAA!"

Bunda terkejut namun sedetik kemudian ia tersenyum senang melihat presensi Jihan yang melambaikan tangan padanya.

"Jihan, ayo masuk nak."

Bunda membuka gerbang dan mengajak Jihan untuk masuk, Jihan membantu bunda untuk menutup pagar dan menuntun bunda untuk masuk ke dalam rumah.

FEEL IT ; a smile that you have  || endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang