Jihan menoleh pada mobil di sebelahnya, ia tahu dengan pasti itu adalah mobil kakaknya.
"Masuk."ucap Juan.
Jihan tidak banyak bicara, ia hanya menurut dan masuk ke dalam mobil, Juan melajukan mobilnya menuju sekolah Jihan.
"Masih marah?"tanya Juan.
"Gue gak marah."ucap Jihan.
"Gue cuma kecewa saat tahu lo bersalah tapi lo kabur dan ngelarang gue ketemu mereka, lo harusnya minta maaf sama mereka kak."lanjutnya.
"Maaf,"
"Maafnya ke mereka, bukan gue."
"Gue gak punya muka buat ketemu mereka."ucap Juan.
"Sejak kapan sih lo jadi alay letoy begini?"
Juan melirik Jihan, senyum tipisnya terbit mendengar penuturan adiknya. Memang benar, Juan sendiri pernah mengatakan kalau kita tidak boleh lari dari masalah, kita harus menghadapi semua masalah dengan percaya diri, tapi apa yang Juan lakukan tempo hari melenceng dari prinsipnya sendiri.
"Mereka orang baik kak, mereka bukan orang pendendam, lo harus minta maaf sama mereka, lo kan yang ngajarin gue buat berani minta maaf kalau ngelakuin kesalahan, jangan buat gue kecewa lagi."
"Hmm, iya."
Jihan menghela nafasnya, memilih untuk menatap jalanan yang tentunya lebih menarik daripada kesunyian yang mereka buat. Mobil Juan berhenti ketika lampu merah menyala, matanya menangkap sosok yang paling ia benci dari arah jam 10, orang yang menjadi alasan ia meninggikan suaranya pada sang ayah, alasan ayahnya berani menampar pipi putrinya sendiri.
"Jangan dilihat kalau gak mau makan hati."ucap Juan.
Juan sadar kemana arah pandangan adiknya. Sagara terlihat bahagia dengan keluarga kecilnya, lalu kenapa laki-laki itu memaksa Jihan untuk mendengarkannya? seharusnya ia sudah tidak penting sekarang.
"Gue gak makan hati, hati gue udah kebal liat dia, gak bakal sakit lagi."ucap Jihan.
"Terus kenapa muka lo asem banget?"tanya Juan.
Bukan, sebenarnya penyebab murungnya Jihan bukan Sagara, tapi kejadian di pasar malam bersama Julian tempo hari. Mengingat Julian membuat hatinya teriris, laki-laki itu sangat kuat, ia masih menampakkan senyum manisnya ke semua orang seolah-olah dunia yang keras ini tidak menyakitinya. Sedangkan dirinya menghilangkan senyumnya seolah tidak ada yang menyenangkan di dunianya, Jihan tidak bisa menyembunyikan jika ia sedang tidak baik-baik saja, ia tidak sebaik Julian dalam memainkan raut wajah sehingga kesedihan dan kecemasannya tertutup sempurna
"Bukan Sagara, tapi Julian. Gue inget Julian."ucap Jihan
"Lo suka sama Julian?"tanya Juan spontan.
"Kak, please jangan bahas ginian, gue sama Julian cuma temen, dan gue gak mau berpikir lebih dari itu."
Juan hanya mengangguk canggung, sebenarnya takut juga jika Jihan kembali menyukai seseorang, Juan masih tidak rela. Ia tidak mau Jihan mengalami hal sama lagi.
"Nanti pulangnya ada kegiatan di kampus, lo mau nunggu gue atau perlu gue pesenin taksi?"
Jihan menoleh dan menjawab "Gausah, ntar biar gue pulang sendiri, kan ada bus."
"Tapi Ji—"
"Kak, stop khawatir berlebihan sama gue. Lo juga punya hal penting lain, gue ngerti. Gue gak papa kalau pulang pergi sendiri, kadang-kadang kita perlu mandiri kan?"
"Gue cuma gak mau lo kenapa-napa."
Jihan mengangguk, ia paham kenapa Juan begitu khawatir padanya, orang tua mereka tidak pernah berada disisi mereka selama ini. Tentu Juan selalu berusaha menjaga Jihan dengan baik, tapi sekarang Jihan sudah besar, bahkan Juan yang mengantarnya untuk membuat kartu tanda penduduk. Jihan juga tahu diri untuk tidak merepotkan kakaknya yang punya kesibukan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEEL IT ; a smile that you have || end
Teen Fiction"Gue gak suka cowok friendly yang suka tebar senyum ke cewe sana sini" Itu yang Jihan ungkapkan sebelum akhirnya ia merasakan gelenyar aneh dalam dirinya setiap bertemu satu laki-laki yang ramah tamah, baik hati dan sangat murah senyum. Dia Julian...