10 : : Rasa Cemburu

115 14 35
                                    

Aku update 1 chapter hari ini, yaa... Besok aku nggak update. Minggu depan baru bisa aku publish lagi, soalnya besok aku study tour. Aku mau seru-seruan dulu. Hahahaha 😆 Sampai jumpa minggu depan!

Selamat membaca!

__________________________

Suasana sekolah sangat bising di pagi hari. Murid-murid berdatangan. Ada yang sudah beraktivitas di kelas masing-masing, ada juga yang baru datang. Contohnya seperti Daisy dan Daffa. Mereka memarkirkan motor masing-masing berdampingan. Entah kenapa mereka berdua justru memilih membawa kendaraan sendiri dibanding diantar oleh supir.

Daisy membuka helm berwarna krem yang ia kenakan. Tangannya merapikan rambut yang sedikit berantakan, juga bercermin pada kaca spion miliknya.

"Dais, kurang mepet itu. Nanti yang lain susah parkirnya." Daffa beranjak dari motor miliknya dan Daisy melakukan hal yang sama.

Daffa naik ke motor Daisy untuk membenarkan posisi parkir gadis itu. "Mepetin, jangan begini."

"Hm," balas Daisy acuh. Dia memegang sandangan ransel dengan kedua tangan, memandangi Daffa yang sibuk membenarkan parkiran motornya.

"Dah." Daffa menarik kunci dari motor itu kemudian berdiri. Ada lekukan senyum di wajahnya. Daffa menyerahkan kunci motor tersebut, "Nih."

Tanpa membalas apa pun, Daisy mengambil kunci motornya. Dalam diam ia memasukkan kunci tersebut ke ransel.

"Kamu pulang nanti ada acara?" tanya Daffa.

Daisy berjalan terlebih dahulu. "Kenapa?"

Daffa sedikit mengejarnya. "Bioskop, yuk!"

"Sibuk," balas Daisy dingin.

"Kalau besok? Jumat?" tanya Daffa lagi. Dia masih berusaha untuk berkomunikasi dengan kembarannya.

"Nggak."

Daffa menghela napas panjang. Cowok itu berjalan di samping Daisy tanpa berbicara lagi. Bukan hal yang baru jika Daisy dingin padanya. Sudah terjadi begitu lama. Sangat lama hingga rasanya Daffa rindu pada kembaran yang dulu selalu ia ajak bermain sewaktu kecil.

"Pagi, Kak Daffa." Segerombolan siswa menyapa.

"Pagi..." Daffa tersenyum.

"Hai, Daffa."

"Hai..."

"Pagi, Daffa."

"Iya, pagi..."

Semua orang menyapanya. Semua orang mengenalnya. Meski berjalan berdampingan dengan ketua OSIS sekalipun, tetap yang dilihat adalah Daffa. Anak yang terkenal karena prestasi dan kepintarannya. Daisy mengeratkan pegangan tangannya pada ransel sembari menahan perih. Begini rasanya menjadi orang yang tidak berarti. Mereka tidak pernah melihat Daisy. Tapi Daffalah yang mereka lihat.

Daisy hanyalah gelap yang berdiri dekat lilin bercahaya terang. Terlampau terang lilin itu hingga keberadaan Daisy tidak terlihat lagi.

"Pagi, Ibu..." Daisy dan Daffa menyapa secara bersamaan.

"Pagi..." Sang guru membalas dengan senyuman. "Eh, Daffa. Makin ganteng aja tiap hari." Wanita itu menepuk lengan Daffa.

"Ah Ibu bisa aja..." Daffa terkekeh.

Daisy semakin mengeratkan pegangan tangannya pada ransel. Gadis itu tersenyum, namun sebenarnya berusaha mati-matian menahan rasa muak melihat semua orang hanya berfokus pada Daffa.

UNSPOKEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang