22 : : Sayang Terlalu Besar

119 14 8
                                    

Halo haloooo!
Pasti udah kangen yaa?
UAS aku sebenernya belum selesai. Aku publish satu chapter hari ini, nanti mingdep aku lanjutin. Happy reading!

________________________

Tok. Tok. Tok.

Bhanu membuka pintu kamar Daisy yang tidak tertutup sempurna. Ruangannya temaram, hanya disinari oleh beberapa lampu kuning kecil dan cahaya bulan yang masuk lewat balkon. Daisy duduk di balkon sembari melihat pemandangan halaman rumah yang luas. Sengaja ingin menenangkan diri.

Bhanu berjalan mendekat. Telinga putrinya sudah disumpal dengan AirPods yang membuatnya sampai tidak sadar kehadiran Bhanu. Perlahan tangan Bhanu mengelus rambut putrinya, membuat Daisy terlonjak kaget.

"Ayah?" tanyanya. "Ayah masuk lewat mana?"

"Pintu," balas Bhanu.

"Kan udah Daisy kunci."

Bhanu menggeleng. "Kamu nggak kunci." Bhanu menghapus air mata putrinya yang masih setia bersinggasana di wajah. "Kamu masih menangis, hm?"

Daisy mengalihkan pandangan ke arah lain. "Bukan urusan Ayah."

Bhanu menghela napas panjang. "Ayah sudah bicara sama Bunda. Jangan sedih lagi. Ya?"

Meski telinga Daisy masih mendengarkan musik, tidak bohong ia masih dapat mendengarkan ucapan sang ayah. Daisy menangis dalam diam, ia bergetar menahan isakan. Persetan dengan semua ini!

Bhanu berdiri di hadapan putrinya, pria itu menyelipkan rambut Daisy ke belakang telinga. "Sakit ya tamparan Bunda?"

"Apa Daisy perlu jawab, Ayah?" Matanya memperlihatkan genangan air yang sungguh banyak.

Baiklah. Bhanu paham. Pria itu mengelus pipi Daisy yang tadi ditampar Olive. "Daisy... Maafin Bundamu, ya? Maklum, dia sedang hamil. Perasaannya sensitif dan cepat berubah."

"Ayah kalau ke sini cuma untuk bela Bunda, lebih baik Ayah pergi aja." Suara Daisy bergetar.

"Bukan begitu, Nak... Ayah nggak bela siapa pun di sini. Kalian berdua milik Ayah. Ayah nggak bisa condong ke satu pihak saja. Ayah di sini hanya melihat dari sudut pandang yang berbeda." Bhanu berucap halus. "Ayah baru saja menasihati Bunda. Sama seperti Ayah sekarang menasihatimu. Ayah hanya mau meluruskan saja. Kalian berdua memiliki sudut pandang yang berbeda. Apa yang menurutmu kamu benar, tidak benar bagi Bunda. Begitu pula sebaliknya. Kalian memiliki persepsi yang lain."

Bhanu mengambil kursi tak jauh lantas duduk di hadapan Daisy. Digenggamnya kedua tangan Daisy dan dibelai halus menggunakan ibu jarinya. Gadis itu sedang menahan isakan.

Bhanu tersenyum. "Daisy... Kamu harus tahu kalau Bundamu sayang banget sama kamu. Bunda nggak pernah menginginkan yang buruk terjadi padamu. Bunda selalu mendoakanmu. Dia selalu mengkhawatirkanmu saat kamu nggak memberi kabar." Bhanu mengelus rambut Daisy.

"Trus kenapa Bunda kayak gini sama Daisy?" Ia terisak.

"Itu karena kamu melawannya," ujar Bhanu halus. Ia menggeleng. "Kamu nggak boleh menghardik Bundamu, Daisy."

Tanpa mampu ditahan, isakan Daisy keluar.

"Apa kamu tahu? Seharian ini Bunda menunggu kabar darimu, apalagi kamu nggak bawa HP dan diantar ke tempat lomba hanya dengan guru laki-laki. Bundamu khawatir sekali, Nak. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu? Kamu nggak bawa HP dan nggak bisa mengabari."

Daisy terdiam.

"Saat kamu pulang, Bunda senang sekali. Tapi kamu malah nyelonong masuk tanpa berbicara. Pas ditahan Bunda, kamu malah nyolot," ujar Bhanu. "Ayah tahu... Kamu sakit hati lihat Daffa menang, sedangkan kamu nggak. Kamu ingin cepat-cepat ke kamar untuk menangis. Bener, kan?"

UNSPOKEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang