17 : : Rumah Dia

105 17 9
                                    

Happy reading!

_____________________

Kantin sangat ramai. Daffa serta teman-temannya bergerombol datang dengan perut lapar masing-masing. Mereka ingin sekali makan soto hari ini.

Di tengah padatnya manusia, Daffa dapat melihat saudarinya berbelanja dengan teman sekelasnya juga. Sekadar membeli jajanan kecil dan roti-rotian. Daffa mendekati Daisy dengan langkah cepat.

"Fa! Ke mana?" tanya Bastian.

"Nyari Daisy itu mah. Pesenin dulu aja dia."

Ketika sudah berada beberapa senti di dekat Daisy, Daffa menggenggam tangan saudarinya. "Dais."

Daisy sedikit terkejut saat tangannya tiba-tiba dipegang oleh seseorang. Ia melihat Daffa yang memiliki postur tubuh lebih tinggi darinya meski Daffa adalah seorang adik.

"Kenapa?" tanya Daisy. Gadis itu menyempatkan diri untuk membayar makanan yang ia beli, lalu ia dan Daffa pergi mencari tempat yang lebih sepi.

"Kamu kalau nggak pulang seharian, kenapa nggak ngabarin?" tanya Daffa.

"Kenapa kamu peduli?"

"Kenapa aku peduli?" beonya.

"Bukannya kamu tau aku orangnya sibuk? Aku memang sering nggak ada di rumah, bukannya itu hal yang udah sering terjadi?" Daisy menatap mata kembarannya.

"Kamu di-chat, ditelpon, nggak diangkat. Chat WA juga centang satu," jelas Daffa.

Daisy melihat sekitar. "HP aku mati."

"Bunda khawatir sama kamu, Dais," tekan Daffa. "Bunda khawatir anaknya nggak pulang. Kamu nggak ada ngabari sama sekali."

Hening sejenak.

Mata Daisy melihat ke bawah. Ia tahu dirinya salah, juga tidak ada hal yang bisa ia lakukan untuk membela diri. Tidak mengabari orang tua ketika tidak pulang ke rumah sudah jelas adalah suatu kesalahan. Mau bagaimanapun, orang tua berhak tahu di mana posisi anak-anak mereka dan sedang apa.

"Semalem Bunda nggak tidur nungguin kamu pulang," tekan Daffa. Kedua matanya menatap Daisy lekat, seolah memancarkan kejujuran.

Daisy menunduk. Rasa bersalah hadir dalam dirinya, memenuhi setiap inci tubuhnya, hingga ia bahkan tidak mampu untuk berdebat dengan Daffa. Daisy tahu ibunya sedang hamil. Dalam kondisi seperti itu, tidak seharusnya Daisy membuat Olive khawatir.

"Ayah sampai nyariin kamu ke sekolah lagi. Kata satpam, semua anak udah pulang termasuk OSIS. Tapi kamu nggak ada di rumah. Ayah panik semalam, ditambah lagi kamu nggak bisa dihubungi. Ayah keliling kota cuma buat nyari kamu, dia pergi ke setiap tempat yang kamu sering kunjungi." Kedua manik mata cowok itu tidak lepas dari Daisy. "Seperti itu karena ulahmu."

Daisy menunduk bersalah.

"Kalau aja Om Brian nggak ngabarin Ayah kamu nginep di sana, mungkin sampai sekarang Ayah masih nyariin kamu," jelasnya.

Daffa maju selangkah, menatap lekat ke arah Daisy dengan mata merah. Jeda sejenak.

"Kalau kamu memang benar-benar tahu etika, seharusnya kamu kabari Bunda-Ayah gimanapun caranya." Cowok itu pergi meninggalkan Daisy. Cara jalannya yang cepat sudah cukup membuktikan bahwa dirinya marah atas perbuatan kembarannya. Daisy juga tidak membantah hal itu.

Karena ia tahu...

Dirinya memang bersalah.

***

Me
Ayah. |
Maaf baru ngabarin. |
HP Daisy baru nyala. |
Baru sempet pegang juga. |

Daddy 🥰
| Hai, Sayang...
| Akhirnya dapet chat dari kamu. Ayah khawatir, Nak.
| Proker yang kamu kerjain sama Indy sudah selesai?

UNSPOKEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang