21 : : Prahara Keluarga

122 16 77
                                    

AWAS NANGIS.

_________________________

Dharsan tergelak tawa. Suasana ruang makan penuh dengan tawanya. Sejak tadi ia menertawakan kejadian kemarin saat Bhanu menginterogasi Narendra, namun sayang ia tidak ada di rumah sebab latihan bulu tangkis.

"Emang nggak kaleng-kaleng Ayah kita," ujar Daffa.

"Di mana dia?" tanya Bhanu pada kedua putranya, ingin menanyakan Daisy yang tidak ikut makan bersama.

"Nggak tau." Daffa dan Dharsan membalas serempak.

"Dia sekolah tadi jam setengah lima. Hari ini dia olimpiade APBN. Karena jauh, jadi berangkat dari sekolah subuh-subuh," ujar Olive seraya makan.

"Loh, dia ada lomba hari ini?" tanya Bhanu. "Kok kemarin dia malah pacaran?"

"Aku yang nyuruh dia keluar jalan-jalan seharian kemarin. Daisy udah nyiapin diri buat olimpiade ini dari berbulan-bulan yang lalu. Aku tahu persiapannya. Walaupun dulu dia sibuk ikut organisasi, dia tetep belajar buat olimpiade ini. Aku ngasih izin dia keluar supaya nggak belajar terus. Kasihan. Kamu tahu, Daisy sering gagal kalau ikut lomba dari dulu. Makanya dia pengen bisa menang di lomba satu ini dengan cara mempersiapkan diri cukup lama," jelas Olive. "Jadi biar dia nggak mumet sehari sebelum lomba, aku suruh dia refreshing."

Dharsan manggut-manggut. "Mbak pasti berharap banget sama lomba satu ini."

"Kalau persiapan kayak gitu sih menurutku dia bisa menang kok," kata Daffa. "Aku yang kadang ikut olimpiade tanpa belajar aja bisa menang. Apalagi dia yang udah nyiapin berbulan-bulan penuh."

"Untuk wawancara beasiswa hari ini kamu udah siap, Fa?" tanya Bhanu.

"Siap, Yah. Pengumuman lolos atau nggaknya juga langsung nanti."

"Kalau lolos, tahap selanjutnya apa?" tanya Olive.

"Milih universitas sama bikin essay," jawab Daffa.

"Good luck." Olive tersenyum.

***

"Kamu benar-benar mengecewakan."

Daisy meremas roknya sambil menunduk, menahan diri untuk tidak menangis.

"Kamu telah menyiapkan lomba ini berbulan-bulan! Saya telah membimbingmu cukup lama. Tapi untuk masuk ke babak final saja kamu nggak mampu!" semprot sang pembina. Ia menggeleng. "Saya sungguh kecewa sama kamu, Daisy."

Mata Daisy berkaca-kaca. "Maaf, Pak."

"MAAF! MAAF!!" Dia kelewat emosi. "Saya sudah meyakinkan banyak guru dan memberimu kesempatan sekali lagi untuk ikut lomba. Saya juga menentang kepala sekolah yang tidak setuju karena kamu maju dalam perlombaan ini. Dari dulu kamu gagal terus, gagal terus. Saat kamu memohon kepada saya untuk mendaftarkanmu di lomba ini, saya pikir kamu mau berubah menjadi lebih baik. Tapi nyatanya apa?!! Kamu benar-benar membuat saya malu! Sekolah juga malu!"

Daisy tidak mampu menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ia menunduk dalam agar tidak terlalu terlihat bahwa dirinya menangis.

"Seharusnya dari awal saya memilih Daffa saja dibanding kamu! Kalau Daffa yang ikut dengan persiapan sematang ini, dia pasti akan juara. Bahkan dia sering nggak belajar untuk ikut olimpiade tapi tetap bisa menang. Lah kamu? Begini saja tidak becus!!"

Bagai tertusuk duri tajam, Daisy merasakan sensasi sakit yang teramat dalam hatinya. Kaki Daisy bergetar, jantungnya berdenyut perih
mendengar kalimat itu keluar dari mulut pria tersebut. Dada Daisy bergemuruh menahan sesak. Percayalah, gagal setelah berusaha sangat keras itu saja menyakitkan, ditambah pula dibentak dan dibanding-bandingkan dengan Daffa. Isakan kecilnya mulai terdengar, begitu pula dengan suara bersitan hidung.

UNSPOKEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang