23 : : Berpayung Teduh

94 15 6
                                    

Aku udah selesai UAS 😆
Selanjutnya update seperti biasa 🦋

Buat yang ngirim pesan ke aku dan minta dibuatin chapter yang isinya Olive sama Daisy ngobrol berdua aja, pasti pada pengen liat mereka deeptalk, yaaaa?

Aku tahu kemarin banyak yang jadi gak suka sama Olive, apalagi pas marahin Daisy dengan cara yang keterlaluan. Sebenernya aku juga. Nangisin Daisy pas nulis chapt berantem kemarin bikin aku inget lagi sama Asmita di Unspoken pertama. Tapi kita semua tau karakter Olive dari dulu. Dia bukan Asmita yang gak waras. So chapter ini mungkin akan menjelaskan sudut pandang Olive sebagai seorang ibu :)

Here you go! Happy reading!

________________________

Embun memercik pada rimbun dedaunan pohon. Kabut sedikit menutupi angkasa dan terasa jelas sejuknya udara pegunungan. Di dekat sebuah danau yang menyegarkan mata, Olive berjalan mendekati Daisy yang duduk di rerumputan.

Wanita paruh baya itu memegang dua botol air mineral di tangan, menyerahkan salah satunya kepada Daisy seusai mereka menghabiskan satu mangkok soto berkuah hangat yang sengaja dibawa dari rumah.

"Nih air," ujar Olive seraya ikut duduk.

"Makasih, Bun." Daisy membuka tutup botol itu lalu meneguk air hingga habis setengah bagian.

Olive pun juga sama. Ia menutup botol air di tangan dengan mata yang tak lepas dari permai alam di depan. Semilir angin menerbangkan rambut mereka berdua. Bunga-bunga kecil dari pohon tinggi jatuh ke rumput. Embus udara mendesirkan bait-bait sunyi.

Ada perasaan yang tak bisa diungkapkan. Kendati hubungan mereka sudah membaik setelah keributan hari itu, berjarak sedekat ini sebenarnya masih membuat mereka sedikit canggung. Yang satu teringat akan kesalahan yang telah diperbuat, satunya lagi merenung karena kerinduan untuk diperlakukan sama seperti yang lain.

Keduanya diam tak bersuara, seperti saling menunggu satu sama lain untuk memulai topik terlebih dahulu.

Hening.

"Bunda pasti ibu yang buruk bagimu, ya?" tanya Olive tiba-tiba, memecah keheningan.

Daisy tidak menjawab. Lidahnya terasa kelu. Ia sedikit menunduk, memainkan botol air di tangan.

Olive melihat putrinya di samping. Tangan lentiknya menyelipkan sedikit rambut Daisy ke belakang telinga. "Bunda gagal jadi ibu yang baik untukmu, kan, hm?" tanyanya dengan tetesan air mata yang jatuh.

Terkecap pahit di ulu hati Daisy.

Olive membelai rambutnya halus. "Maaf Bunda sudah terlalu keras sama kamu selama ini."

Tanpa mampu ditahan, isakan Daisy akhirnya keluar. Daisy menutup mulutnya, mencoba meredam rasa sakit yang hanya bisa dituturkan lewat perihnya tangis. Dengan berurai air mata, Olive memeluk Daisy hangat. Menangis dalam diam, mencium kepala Daisy dengan sayang.

"Kenapa... Kenapa Bunda sering tega sama Daisy? Kenapa?" lirih Daisy.

"Dengar," ucap Olive seraya mengelus rambut putrinya. "Bunda ... bukannya nggak sayang sama kamu. Bunda sayang. Sayang sekali. Selama ini Bunda berusaha membesarkanmu dengan cara yang benar menurut Bunda. Tapi Bunda nggak pernah tahu ... kalau apa yang Bunda lakukan ... telah menyiksamu. Maafin Bunda, Sayang... Maafin Bunda." Derai air mata tak tertahan lagi. Wanita paruh baya itu memejamkan mata erat-erat, membiarkan cairan bening jatuh.

Wajah Olive memerah. "Daisy... Dulu saat kamu lahir, tangisanmu paling keras. Bunda memelukmu yang masih penuh darah dan kotoran. Setelah Bunda peluk, baru kamu berhenti menangis. Bunda... Bunda melahirkanmu dengan rasa sakit yang luar biasa. Gimana bisa Bunda nggak sayang sama kamu, hm?" tanyanya sendu.

UNSPOKEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang