Ingin jadi apa?
Suatu senja kala mawar tengah merekah di halaman, aku tanya padanya.
"Jika menjadi bunga, kamu ingin menjadi apa?"
Dia menatapku penuh tanya, "Tak bisakah aku jadi pohon saja?"Aku menggeleng tegas. "Jangan bilang kamu ingin jadi kaktus yang tumbuh di padang pasir."
Dia tertawa pelan, menyetujui kalimatku, "Memangnya kenapa? Kaktus itu tanaman yang luar biasa. Dia mampu bertahan meski kekurangan air, bahkan dapat tumbuh di tempat di mana hujan tak sudi menyapa."
Aku mengangguk kecil saja, "Apakah kamu tahu aku ingin jadi apa?" Kutatap ia yang tampak bercahaya di bawah semburat jingga.
Dia bersikap menyebalkan, berpura-pura berpikir lama, padahal aku tau dia pasti sudah punya jawaban.
"Aku rasa kamu ingin menjadi bugenvil saja, atau mawar?" Jarinya menunjuk kumpulan mawar yang merekah cantik.
"Kenapa mawar?" tanyaku.
Dia menatapku cukup lama sebelum berujar, "Mawar cantik dan indah, dilingkupi warna-warna yang tak kalah memikat. Merah, merah muda, kuning, putih, bahkan ada yang hitam meski itu langka. Indah, memikat, namun berduri. Mampu melukai siapa saja yang berani mendekat dan memasuki dunianya. Durinya memang kecil, tapi cukup menyakitkan dan membekas dalam ingatan."
Aku menatapnya keheranan, perasaanku, mawar tak seperti itu, durinya hanya sesekali menggores saat kita tak berhati-hati saja.
"Bukankah kaktus juga berduri? Bunganya indah, tapi durinya menyakiti." Aku kembali menatap mawar di halaman.
"Aku tahu, kamu ingin menjadi dandelion kan? Tanpa perlu dijelaskan pun, dandelion adalah bunga yang mewakili dirimu." Dia meluruskan kakinya yang tadi ditekuk. "Tetaplah jadi dandelion saja, biar aku, menjadi pohon. Tapi aku tidak tahu harus menjadi pohon apa."
"Bukankah semua pohon sama saja? Memberikan kehidupan pada makhluk hidup lainnya. Meneduhkan saat gersang, melindungi dari hujan, memberikan bunga hingga buah, bahkan dapat memberi manusia nafas. Bukankah pohon amat gagah?" Aku menatap pohon mangga yang gagah berdiri di halaman samping.
"Memberikan kehidupan, lalu dibunuh oleh yang ia beri hidup, dibinasakan, diabaikan, bahkan dianggap pengganggu." Ia menatap nyalang, matanya agak memerah, entah kenapa.
Aku mencabut rumput liar yang ada di sebelah kakiku. "Tak bisakah jadi rumput liar saja? Menyebalkan, tapi sangat tangguh. Diracun, dibunuh, dibabat, tapi tetap akan tumbuh yang baru, seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu, bahkan diberi makan pestisida pun bak mati suri, entah kenapa nanti hidup lagi. Menyebalkan sekali, tapi, lihatlah, seperti halaman ini, dipenuhi rumput liar yang dirawat, justru jadi indah, bukan?"
Dia menatap heran, memperhatikan rumput liar yang memenuhi halaman, tingginya sama karena selalu dipangkas agar empuk, "Rumput selalu diinjak-injak, tak punya harga diri. Dia rendah sekali tak seperti pohon yang mampu menjulang tinggi, dianggap parasit menjengkelkan, apakah tak apa?"
Aku menatap burung yang hinggap di pohon mangga. "Tak apa, jadi yang paling tabah meski tak dianggap dan kehadirannya selalu saja ingin dilenyapkan. Bahkan ada yang mampu tetap hidup meski kehausan hingga purnama terus terganti."
Dia mengangguk, lalu berdiri dan mendongak sembari memejamkan mata. "Aku hanya ingin jadi diriku saja. Andaikan bisa. Aku mau jadi diri sendiri saja. Bukankah itu yang paling tepat?"
Aku tak menjawab, hanya terus menatapnya, ia yang tak pernah mampu aku pahami.
--renjanalara
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Lara [ Slow Update ]
Poesiaberisi sajak-sajak berantakan tak beraturan serumit isi kepala yang dikerubuti kata-kata tanpa jeda. #1 [ bicara ] 5 Juli & 27 November 2023 2 Juli 2024 #6 [ bait ] #2 [ curahan hati ] #5 [ capek ] #15 [ lara ] #13 [ quote ] #6 [ renjana ] #15 [ poe...