JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN!!
°°°
Ruangan yang semula penuh kehangatan kini begitu lenggang. Tidak ada lagi canda tawa ataupun sekedar obrolan ringan yang sedang berlangsung.
Sejak insiden Soraya keceplosan, Dea meminta semuanya keluar ruangan kecuali Ginting dan Mitzi. Tapi sudah setengah jam berlalu, tidak ada satupun yang mampu memberikan penjelasan kepadanya.
"Kenapa kalian putus?" tanya Dea setelah lama terdiam.
Ginting dan Mitzi saling berpandangan, keduanya merasa enggan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Karena menceritakan hal itu sama dengan mengungkit kenangan yang berusaha mereka sembunyikan.
"Gara-gara gue?" tanya Dea lagi yang kini menyenderkan tubuhnya ke ranjang.
"Gue tau hal ini bakal terjadi, tapi kenapa? Kenapa harus lu yang ngalah Mit?"
"Kalo ada orang yang berhak milikin Ginting, itu cuma lu. Lu gak usah berkorban buat gue," kata Dea dengan raut wajah sedih.
Mitzi mendekati Dea, diraihnya jemari sahabatnya yang makin kurus itu dan ditatapnya mata yang sudah lama terpejam. "Kenapa gue yang berhak kalo faktanya di hati Ginting cuma ada lu?" tanyanya lembut, tapi itu membuat Dea tertohok.
"Maafin gue karena gak pernah peka sama cerita lu De, gue gak tau kalo temen kecil yang selalu lu kagumi itu Ginting. Dengan begonya gue selalu ngajak lu buat main bareng tanpa tau perasaan lu yang tersiksa, gue emang sahabat yang gak berguna."
Dea menepis tangan Mitzi, matanya menyalak tajam dengan air yang sudah menggenang. "Pokoknya sekarang lu harus balikan!"
"Gak bisa De, dia cinta sama lu," sanggah Mitzi.
"Kenapa lu selalu berbagi apapun yang lu punya? Dari kecil lu mau ngalah dan minjemin mainan yang lu suka ke gue, bahkan tanpa ragu lu mau ngebagi kasih sayang orang tua lu buat gue, dan sekarang lu masih mau ngorbanin hati lu buat gue?" tanya Dea tidak mengerti dengan jalan pikiran Mitzi.
"Dea, bagi gue lu lebih dari sekedar sahabat. Lu segalanya buat gue,"
"Gue harus ngomong gimana lagi sih Mit?" erang Dea frustasi, best friend-nya ini sangat keras kepala untuknya. "Ginting harus sama lu, karena bentar lagi gue mati!"
"DEA!" sentak Ginting dan Mitzi secara bersamaan.
"Dari tadi gue diem, tapi sekarang lu udah keterlaluan!" kali ini Ginting angkat suara.
Bukannya menciut, namun Dea malah menatap Ginting dengan penuh amarah. Masalah cinta? Apa itu cinta? Selama ini dia sudah memendam semuanya sendirian, jadi tidak ada salahnya untuk kembali sendiri dan menikmati sisa hidupnya bukan?
"Lu yang keterlaluan Ting! Bisa-bisanya lu mutusin cewek yang udah setia sama lu demi pelakor kek gue! Dimana perasaan lu, hah?!" teriaknya semakin frustasi, masalah ini benar-benar membuat kepalanya penuh.
"Aws," ringis Dea sambil memegang dadanya.
Dengan segera Ginting memegang bahu yang langsung ditepis begitu saja oleh Dea. Mitzi yang melihat itu pun hanya bisa terdiam, dirinya semakin yakin bahwa selama ini dia hanyalah sebagai bayang-bayang Dea. Orang yang Ginting cintai adalah teman kecilnya yang kebetulan mirip dengan dirinya.
"Ting, lu sayang gue?" tanya Dea membuat keadaan kembali hening.
Mitzi dan Ginting saling beradu pandang sampai helaan nafas keluar dari mulut Ginting, "Iya De."
Satu kalimat itu membuat tubuh Mitzi lemas seketika, namun sekuat mungkin dia bertahan agar sahabatnya tidak terluka.
"Kalo gitu, mulai sekarang gue mau kita putus!" kata Dea membuat kedua orang yang berada di dekatnya membulatkan mata sempurna.
"Kenapa? Bukannya lu sayang sama gue?" tanya Ginting masih tidak percaya.
Bukannya menjawab, Dea malah menggelengkan kepalanya berkali-kali dan mengarahkan tangannya ke arah pintu. "Sekarang kalian keluar! Gue mau sendiri!" tegasnya.
"De-"
"Udah Mit, gue gak mau ngedenger apapun dari kalian. Meskipun di sini posisinya gue yang salah, tapi gue mau nenangin diri." Keputusan final dari Dea membuat semuanya bungkam.
Untuk menghindari kambuhnya penyakit Dea, akhirnya Mitzi dan Ginting mengalah. Mereka keluar dengan perasaan campur aduk, antara sedih dan kecewa terus saja menggerogoti perasaannya.
Marah? Tentu saja ada kemarahan yang terselip dalam perasaan itu, tetapi lagi-lagi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Semuanya telah terjadi, bahkan mereka pun tidak menyangka jika hubungan asmaranya ini lebih rumit seperti drama-drama yang selama ini mereka tonton.
"Kak, maafin Aya," kata Soraya saat melihat dua orang yang ditunggu akhirnya keluar.
Ginting langsung melengos pergi, sedangkan Mitzi menyunggingkan senyum. "Gakpapa Ya, mungkin ini semua udah waktunya."
"Tapi Aya ngerasa bersalah banget, kalo Aya gak keceplosan pasti kita masih ketawa-ketawa sambil ngebully si bangke." Jawabnya lesu.
Ucapan Soraya membuat Fajar geram, tapi mau bagaimana lagi, situasi saat ini sangat tidak memungkinkan bagi dirinya untuk ngamuk. Yang ada nanti dia bisa diserbu sama khalayak ramai kan bahaya, bisa-bisa wajah tampannya ini jadi bonyok seketika.
"Gakpapa Aya, Dea cuma butuh waktu aja kok. Nanti juga dia bakal ngerti kalo kita ngelakuin itu karena kita sayang sama dia," ujar Mitzi menenangkan.
Soraya hanya bisa mengangguk, masih menyesali apa yang telah dia perbuat. Dia jadi merutuki mulutnya yang gak bisa diajak kompromi, padahalkan harusnya dia peka saat Ginting memasuki ruangan dengan tampang terkejutnya.
Karena bingung harus melakukan apa, ditambah perasaan bersalah masih menyelimuti. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke ruangan Dea, hal itu tidak bisa dicegah oleh Fajar ataupun Rian. Karena jika mereka ikut masuk, pasti sasaran amuk Dea akan beralih ke dirinya.
"Kak," ucap Soraya saat melihat Dea sedang terisak, bahkan panggilannya sama sekali tidak digubris.
"Aya minta maaf," cicitnya saat sudah ada di tepian ranjang.
"Aya," kata Dea langsung memeluk Soraya. Sejujurnya Dea sudah lelah dengan semua ini, tapi dia bingung harus melakukan apa agar semuanya bisa menjadi seperti sedia kala.
"Kakak jangan nangis, nanti Aya ikut sedih." Soraya berusaha menenangkan meskipun pada kenyataannya suara dia ikut bergetar.
Dea menguraikan pelukan dan mengusap wajahnya kasar, "Kalo aja dulu gue gak bodoh dan gak nerima Ginting, pasti sekarang mereka masih barengankan?"
Soraya mengangguk, lalu menggeleng. "Gak ada yang tau gimana semesta merangkai takdir kita kak, jadi kakak jangan nyalahin diri sendiri ya?"
"Meskipun Aya terkesan gampang banget ngomongnya, tapi buat sekarang jangan pikirin Kak Ginting sama Kak Mitzi dulu. Karena yang paling penting itu sekarang kakak sehat, urusan mereka, Aya yakin nanti mereka pasti bersatu lagi."
Dea terdiam sejenak kemudian mengangguk, "Makasih Aya."
"Buat?" tanya Soraya sembari mengernyitkan kening, pasalnya kekacauan inikan dirinya yang buat, tapi mengapa Dea justru berterimakasih padanya?
"Buat semuanya," jawab Dea dengan senyuman yang paling tulus.
Soraya hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Tapi entah mengapa perasaannya mendadak tidak enak, seperti ada sesuatu yang akan terjadi dan membuat semuanya jauh lebih rumit lagi.
°°°
Soraya : Thor, kok perasaan gue gak enak ya? Jangan-jangan lo mau buat skenario yang aneh-aneh lagi?
Author : Apaan sih lu, suudzon terus sama gue.
Ginting : Soalnya muka lu jelek, makanya gak ada yang berprasangka baik sama lo.
Dahlah, segitu aja percakapan unfaedah hari ini. Yang nge-iyain kata-kata Ginting fix sih kalian readers durhaka-,-
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love [✓]
FanfictionJangan lupa follow, vote dan komen❤ ==== Bekerja sebagai salah satu wartawan di pelatnas bukanlah hal yang mudah, selain siap mental dan fisik, gue pun harus siap menjaga hati agar terhindar dari segala kebaperan yang melanda. Tapi dari sekian banya...