18. Apes

45 16 7
                                    

Ginting POV

"Inget ya, kamu jangan sering begadang. Istirahat yang cukup, comeback stronger! Aku gak mau denger cibiran orang lain, apalagi ngeliat komentar netizen yang suka bikin aku pen makan orang." cerocos Mitzi panjang lebar dari sebrang sana.

Gue cuma bisa ngangguk, kadang berdehem panjang. Percuma juga gue jawab, yang ada dia malah ngomong lebih panjang. Cari aman lah ya gue.

"Ya udah be, aku mau tidur. Kamu juga ya. Night and love you." kata gue lalu memutuskan sambungan secara sepihak.

Bodo amat lah, dia mau ngambek atau kek gimana juga. Males gue dengernya. Gue tau dia lagi ngasih gue support, tapi cerewetnya itu ya Tuhan. Gak kuat gue. Lebih parah daripada emak sama coach gue.

Gue berjalan menuju asrama, gak sengaja gue ngelirik tempat kerja wartawan. Lampunya masih nyala, apa masih ada orang jam segini? Tiba-tiba gue inget Dea, siapa lagi yang suka lembur selain dia? Dengan cepat gue langsung menuju ke ruangan, kesempatan sih buat ngejailin dia.

"Dea... I'm coming!" batin gue menjerit.

Sesampainya di depan ruangan, gue membuka pintu perlahan. Mata gue melihat sekitar sampai pandangan gue jatuh ke cewek yang lagi tertidur. Jadi gak tega gue ngejailinnya, tanpa pikir panjang gue menghampiri cewek itu.

Ya Tuhan. Dea kenapa? Tidurnya kek gak pules gitu, bulir keringet membasahi keningnya, padahal hawa malam ini lumayan dingin.

"Anthony...."

Suara Dea nyaris berbisik, dari sekian racauan yang gue denger ada nama gue kesebut. Karena khawatir, gue langsung menggoyangkan bahunya pelan.

"De bangun." kata gue sambil ngebenerin rambut yang menutup sebagian wajahnya.

Bukannya bangun Dea malah makin bergerak absurd, gue langsung tepuk pipinya lembut biar dia bisa bangun. Gue khawatir banget, kesian dia kek kesiksa gitu.

Setelah beberapa tepukan Dea langsung membuka mata, nafasnya tersenggal-senggal.

"Ginting."

Dia langsung meluk gue, karena gak tau harus berbuat apa gue pun memutuskan buat membelai rambut yang selalu dia kuncir kuda.

"It's oke."

Gue berusaha menenangkan, pelukan dia makin kenceng. "Ting kita putus aja ya." katanya dengan suara teredam karena kepalanya dia tenggelamkan di dada gue

"Hei kenapa?" tanya gue kaget sambil menguraikan pelukan.

Gue berusaha melihat wajahnya, "Astaga lu nangis?" tanya gue lagi, sumpah gue masih gak ngerti sama semua ini.

Dea masih terisak, gue cuma bisa natap dia sambil sesekali ngelus punggungnya.

"Mitzi, dia mau bunuh gue." katanya yang malah semakin terisak.

Gue langsung membawa dia ke dalam pelukan, gue yakin ini salah satu cara buat dia tenang.

"Itu cuma mimpi De, tenang ya." kata gue selembut mungkin, gue gak mau nambah pikiran dia kalau harus terus ngasih pertanyaan.

Dea masih terisak, dan yang jadi pertanyaan gue adalah apa yang ngebuat dia jadi kek gini? Apa mimpinya seburuk itu?

"Gue takut Ting, gimana kalo hubungan kita ketauan? Gimana kalo nanti Mitzi jadi benci gue, terus kalo fans lo-"

"Ssttt," gue motong ucapan dia, gak tega gue ngeliat Dea yang lagi overthingking. "Percaya sama gue ya kalo everything will be ok?"

Dia cuma ngangguk doang, sesekali dia berusaha buat ngatur pernafasannya. Dan sebanyak itu pula Dea mengusap wajah kasar.

Last Love [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang