Mitzi membuka mata kala suara alarm mengusiknya, dia lihat kesebelah dan terlihatlah Ginting yang masih membuat pulau di sarung bantalnya. Seulas senyum terbit, ingin membangunkan lelakinya tapi rasa kasihan lebih mendominasi.
"Kalo bukan laki gue udah gue jejel tuh mulut," kata Mitzi sambil terkekeh sendiri.
Kalau diliat-liat sih udah kek orang gila karena ngomong sendiri, tapi ya gimana lagi? Sejak nikah sama Ginting, tingkat kebucinannya kembali meningkat. Dunia milik berdua itu benar adanya, bahkan orang tua mereka pun tidak sekalipun berniat untuk mengganggu rutinitas mereka.
"Udah puas ngeliatinnya?"
Suara serak itu membuat mata Mitzi mengerjap, padahal jelas-jelas Ginting masih tertidur sambil ngoeh.
"Aku tau aku ganteng, tapi-"
"Bangun sana, siap-siap buat ke gereja!" potong Mitzi dan langsung turun dari ranjang.
Malu banget gak sih keciduk lagi ngeliatin orang? Meskipun posisinya udah jadi suami sendiri, tapi sebagai wanita tulen dia masih mengedepankan rasa gengsi demi menjaga harkat dan martabat kaumnya.
"Sini, temenin dulu," kata Ginting sambil meraih tangan Mitzi, membuat perempuan itu kembali duduk dan menatap suaminya sebal.
"Udah jam 6 ih, kamu tuh kalo siap-siap suka seabad!" omel Mitzi.
Kalian pikir Ginting akan menurut? Oh tentu saja tidak! Bukannya segera bangun dan bersiap, dia malah menarik tubuh istrinya dan membawanya ke dalam dekapan.
"Morning cuddle," katanya yang entah mengapa membuat pipi Mitzi bersemu.
See? Cuma gara-gara dua kata aja udah ngebuat Mitzi kesemsem, gak salahkan kalo sekarang dia dapet penghargaan wanita terbucin setelah nikah?
"Kok gak bales?" tanya Ginting sambil membelai surai hitam milik belahan hatinya.
Tanpa banyak bicara, Mitzi langsung membalas pelukan Ginting dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang yang selalu menjadi tempat terakhirnya sebelum menutup mata. Rasa hangat langsung menjalar di sekujur tubuhnya, perasaan itu tidak pernah berubah walaupun mereka selalu melakukan hal itu setiap pagi.
"Udah ih, nanti telat ke gerejanya." Mitzi melepaskan pelukan dan segera bangkit. Semua dia lakukan secepat kilat agar Ginting tidak bisa menariknya kembali, sedangkan Ginting hanya bisa menggerutu dan memaksakan matanya untuk terbuka.
"Padahal baru bentar juga."
"Udah sana mandi duluan, apa aku duluan aja?" tanya Mitzi membuat Ginting tersenyum smirk.
Merasa tidak ada jawaban, Mitzi melihat ke arah suaminya yang sedang senyam-senyum kek orang gila. Meskipun begitu dia bisa merasakan sinyal bahaya disana, "Ngapain mukanya kek gitu?"
"Aku punya ide sih biar sat set sampe gereja," jawab Ginting.
Mitzi menaikan sebelah alisnya dan menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh suaminya, tangannya juga sudah terlipat di depan dada yang menandakan dia masih menunggu lanjutan dari kalimat itu.
"Gimana kalo kita mandi bar-"
"GAK AKAN!!!" teriak Mitzi yang udah ngibrit duluan ke kamar mandi.
Melihat itu Ginting hanya bisa terkekeh, padahal sudah tiga bulan bersama, tapi tingkah istrinya itu masih saja malu-malu kambing. Lagian apa yang harus ditutupi coban? Merekakan sudah saling mengetahui satu sama lain, eh?
Untuk menghindari pikiran yang semakin kacau, Ginting memutuskan untuk mandi di kamar mandi bawah. Bisa-bisa dia kena amuk dan harus kembali merayu Mitzi yang sedang merajuk.
***
"Sekarang kita mau kemana?" tanya Ginting setelah selesai beribadah.
Mitzi terdiam sesaat, "Kita ke rumahnya Dea aja yuk be," katanya yang langsung di jawab dengan anggukan.
Sejak menikah, mereka selalu menyempatkan waktu untuk quality time. Walaupun cuma sebentar, tapi setidaknya ada hal-hal yang bisa mereka bahas. Entah itu sekedar mengenang masa lalu, atau merancang masa depan yang masih harus mereka rakit bersama.
"Janji sama aku be," kata Ginting membuat pandangan mereka beradu, "Janji jangan nangis lagi untuk apapun yang terjadi kedepannya," lanjutnya yang hanya dibalas dengan anggukan.
Mitzi masih setia memakai kaca mata hitamnya, tapi pandangannya sedari tadi tertuju ke arah jalan. Tidak sabar bertemu dengan sahabat yang sudah lama tidak dia jumpai.
"Yuk," ajak Ginting setelah sudah sampai.
Mereka menuruni mobil, sebelumnya mengambil beberapa barang sebagai buah tangan untuk Dea. Disana Mitzi sedang menghembuskan nafas berkali-kali, sedangkan Ginting segera merangkul istrinya untuk sedikit memberikan ketenangan.
"Udah siap?" tanya Ginting yang lagi-lagi hanya dibalas dengan anggukan.
Mereka berjalan sebentar sampai akhirnya sampai di tempat tujuan, Mitzi kembali menghela nafas dan membuka kaca matanya.
"Pagi De, gue bawa oleh-oleh buat lu."
Mitzi berjongkok dan memberikan sebuah buket bunga mawar di atas salib yang bertuliskan nama Deandra.
"Gue kangen sama lu De," lirih Mitzi dan tanpa terasa setetes air mengalir dari pelupuk matanya.
Ginting kembali meraih tubuh Mitzi yang sudah bergetar, sedari tadi dia juga mencoba untuk tegar dan tidak terlihat lemah di hadapan istrinya.
"Lu gak kesepiankan? Pasti di surga hidup lu lebih bahagia," kata Mitzi setelah menghapus air matanya.
"Lu mah gitu, katanya mau bareng-bareng terus sama gue, tapi lu malah ingkar. Padahalkan gue mau lu liat anak-anak gue nanti..."
"Eh gue sampe lupa ngasih tau, gue udah hamil enam minggu. Kalo cewek nanti gue namain Dea, kalo cowok keknya Andra cocok sih. Iyakan be?"
Ginting mengangguk sebagai jawaban, tangannya sibuk mengusap lengan Mitzi di dalam pelukannya. Sebuah pertemuan yang terjadi beberapa minggu ini membuatnya sedikit terpukul, mengingat kepergian Dea baru diketahui satu bulan setelah dia tiada. Kabar itupun dia dapat dari Soraya yang kebetulan bertemu dengannya di pelatnas.
"Kamu gak mau ngomong ke Dea be?" tanya Mitzi lagi.
"Kita semua kangen sama lu De," ujar Ginting, "Meskipun sekarang lu gak bisa jawab omongan kita, tapi gue yakin disana lu pasti seneng banget ngedenger kehadiran malaikat kecil di perutnya Mitzi."
"Doain dia biar lahir dengan selamat, dan gue harap calon anak kita bisa setegar lu dalam menghadapi cobaan." Ginting menutup percakapan dengan sedikit air mata yang membasahi kelopak matanya.
Mitzi memeluk salib dengan isak yang sudah tidak bisa dia tahan, "Gue kangen banget sama lu De, dateng ya ke mimpi gue."
Setelah mengatakan itu mereka berdua bangkit, menatap kuburan itu sejenak lalu berbalik dan meninggalkan sahabat sekaligus kenangan yang sudah terkubur jauh di dalam sana.
"Dea masih cantik ya," ucap Mitzi saat sudah ada di dalam mobil.
Ginting menaikan sebelah alis tidak mengerti dengan ucapan yang begitu tiba-tiba.
"Tadi Dea ada disana, ngeliatin kita."
"Kamu jangan nakut-nakutin gitulah be, udah tau aku paling takut sama setan!" sungut Ginting yang justru mendapat kekehan dari Mitzi.
"Meskipun kita gak bisa ngeliat dia, tapi aku yakin di atas sana dia seneng banget kita ngejenguk dia."
"Iya be, Dea juga pasti seneng sama kabar baik yang kita bawa." Balas Ginting yang sudah membawa mobilnya menjauh dari pemakaman.
°°°
Oke deh, dengan ini author bilang kalau cerita ini benar-benar berakhir. Gak ada ekstra part lagi karena sudah tidak ada ide buat perdramaan Ginting sama Mitzi. Toh Dea juga udah beda alam, gak lucu juga kalo mereka tiba-tiba bisa ngobrol. Yang ada genrenya berubah jadi horor😬
Terakhir, jangan lupa vote dan komennya gaes. Sampai jumpa di cerita yang lainnya💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Love [✓]
FanfictionJangan lupa follow, vote dan komen❤ ==== Bekerja sebagai salah satu wartawan di pelatnas bukanlah hal yang mudah, selain siap mental dan fisik, gue pun harus siap menjaga hati agar terhindar dari segala kebaperan yang melanda. Tapi dari sekian banya...