Chapter 32

557 78 4
                                    

Lee Jihoon hanya menatap Jisoo dan Seungcheol yang mulai memanas. Mereka berbicara, berteriak, dengan nada yang sama tinggi.

Kadang Seungcheol lebih tinggi, lalu kadang Jisoo yang lebih tinggi. Keluarganya yang tak pernah ada masalah dan tidak pernah sekalipun orang tuanya saling berteriak seperti itu membuat Jihoon sedikit asing. Ia merasa seperti seorang anak yang menyaksikan perkelahian orangtuanya.

"Maaf jika aku boleh bertanya, lalu apa hakmu mengurusi urusanku?" Ia melihat Jisoo sedang melotot pada Seungcheol dan mengacungkan jarinya tepat ke hidung pria tinggi yang sedang berkacak pinggang.

Jihoon merasa pusing dan perkelahian yang mulai menunjuk-nunjuk bukanlah seleranya, jadi dia memutar badan untuk melihat sekeliling.

Kaktus yang Jisoo tanam terlihat asing baginya, seperti bukan spesies yang hidup di Korea Selatan. Kakinya melangkah mendekat ingin mengamati lebih dekat namun ia dikejutkan oleh seseorang yang berdiri di ujung lain pot-pot kaktus.

Tinggi tegap dengan rambut cokelat gelap. Matanya hitam memandang sayu pada Jihoon. Sontak tenggorokan Jihoon merasa kering. Ia ingin berlari, atau yang paling sederhana adalah berteriak, bahkan hanya berbisik untuk memanggil Seungcheol namun ia tak mengeluarkan suara apapun. Ia mulai panik dan air mata sudah menjalar memenuhi mata kemudian tak terbendung lalu turun menghangati pipinya.

"Seungcheol… Seungcheol… kumohon berbaliklah memandangku!" suaranya tercekat di tenggorokan dan hanya terdengar teriakan dalam batinnya. "Kumohon…." Ia meratap.

"Seungcheol tak akan mendengarmu, Jihoon."

Bulu Jihoon berdiri di area leher dan lengan. Matanya membulat mendengar suara pria yang sedang berdiri di depannya.

"Kau siapa?" ia bertanya. Reflek karena namanya disebut tadi.

"Lee Seokmin." Seokmin menatap mata Jihoon dalam.

"Akulah orang yang selama ini kalian cari." Ada jeda kira-kira dua detik baru Seokmin  meneruskan.

"Sekarang kita sudah berhadapan. Apapun pertanyaanmu, tanyakanlah. Aku akan menjawabnya. Kalian tak lagi harus berspekulasi."

Jihoon merasa sangat haus dan panas. Ia yakin jika Seungcheol tidak menyadari kondisinya lima menit, tidak, dua menit lagi maka dia yakin ia akan pingsan. Masalah pertanyaan, ia bahkan tak tahu harus bertanya apa. Otaknya mengalami shock dan masih belum mampu berfikir.

"Sedikitlah rileks."

Hantu Seokmin tersenyum padanya. Rambut Seokmin berkilap-kilap seperti berlian saat diterpa cahaya matahari sore. Satu teori tentang hantu yang terpatahkan: hantu tidak terpanggang jika terkena cahaya matahari.

"Apa kau hantu?" dari sekian pertanyaan yang mungkin bisa Jihoon tanyakan, ia hanya menanyakan itu.

"Ya."

"Hm, aku tidak begitu ahli dalam hal interview dan aku tidak begitu paham dengan masalah ini. Tapi, hm, apa kau berpacaran dengan Jisoo?"

"Ya. Kami saling mencintai."

"Hm, begini… aku.. sebenarnya tidak bisa melihat hantu sebelumnya tapi aku melihatmu aku tidak tahu kenapa. Dan hm, kau bisa jelaskan, itu.. kenapa kalian bisa ber.. saling mencintai maksudku?"

"Kami hanya berhubungan sebagaimana kalian berhubungan," Seokmin tersenyum lalu melangkah maju.

Jihoon terkejut tentu saja, ia berusaha sekeras mungkin untuk mundur, menjauh, berlari kalaupun bisa.

"Jangan! Tidak bisakah kau tidak maju? Maksudku jangan mendekat. Kumohon." Jihoon mencoba berteriak dengan brutal namun itu hanya melukai tenggorokannya.

Ia bisa mendengar suara Seungcheol meneriaki namanya. Nah, sekarang baru pria tinggi itu paham. Kemana saja dari tadi, bung?! Lalu ia mendengar suara Jisoo lebih samar lagi, hampir tak terdengar.

"Aku ingin berbincang denganmu, Lee Jihoon."

Seokmin sudah berada tepat dihadapan Jihoon sekarang.

"Aku mencintai Jisoo dan akan terus seperti itu. Aku tak akan meninggalkannya karena aku tak ingin dan Jisoo pun tak ingin. Aku tahu kami berbeda dan itu mengganggu kalian." Kalimat Seokmin membuat Jihoon menyesal telah mengusulkan ide tentang tim pencari fakta atau tim pencari hantu atau….

"Kuharap kau bisa memberi tahu semua kawan-kawanmu untuk berhenti mengusik aku dan Jisoo. Kuharap kalian mengerti apa itu privacy."

"Aku akan sangat menghargai privacy mu jika aku tahu hubungan kalian benar. Tapi, Seokmin…"

Seokmin terlihat memalingkan wajah menatap pada matahari. Seolah menikmati sinarnya masuk ke pori-pori. Jihoon memandang dengan bergidik.

"Hantu dan manusia itu seperti kucing dan tikus. Atau kucing dan beruang. Pokoknya berbeda, jadi ya.. bisakah kau berfikir sekali lagi. Menimbang-nimbang mungkin, bahwa walaupun itu tidak menyakiti kalian sekarang. Aku punya keyakinan bahwa hal semacam itu akan menyakiti kalian suatu saat nanti. Ayahku, pernah berkata demikian padaku. Ucapan orangtua biasanya harus didengarkan jadi aku berbagi petuah itu padamu."

Jihoon berbicara panjang yang ia sendiri tak tahu apakah yang ia katakan termasuk omong kosong atau bukan.

"Jadi aku tak akan bertanya apapun tentangmu, aku hanya akan memohon agar kau meninggalkan Jisoo. Biarkan ia hidup sebagaimana ia harus hidup. Dan jalanilah kehidupanmu sendiri. Mungkin kau harus mengunjungi surga atau bagaimana. Seperti kata ayahku bahwa kakekku tinggal di surga sekarang. Ia bahkan hidup dengan bidadari cantik sampai nenekku menyusul dan memarahinya."

Jihoon merasa lebih santai daripada tadi saat pertama kali ia tidak bisa bergerak.

"itu saja sebenarnya yang ingin kukatakan. Jadi bisakah aku bangun? Kembali bergerak lagi, aku ingin pulang."

Seokmin tersenyum lalu bergumam terima kasih dengan sangat pelan. Seokmin mulai memudar seiring dengan kaki Jihoon yang semakin ringan, kepalanya pun serasa seperti kapas. Lalu lidahnya kelu dan telinganya berdenging kemudian gelap.















TBC

grand bébé [SEOKSOO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang