"Lee Seokmin. 1953—1984,"
Hansol terus bergumam sambil menggigiti jari jempolnya. Ia mengangkat kedua tangannya keatas kepala sambil berfikir apapun itu yang masuk akal.
Hal ini begitu dekat seperti nadinya yang menempel pada daging, namun kenapa ia tak pernah berfikir sejauh ini.
Setidaknya jika ia lebih peduli maka ia akan mendapatkan jawabannya beberapa saat yang lalu. Ia terlalu menganggap orang lain dungu disaat sebenarnya ia lah yang paling dungu dari siapapun.
Menyesali kesalahan— bukan termasuk dalam kesalahan pula, ini bisa disebut sebagai kelalaian atau ya, semacamnya.
Hansol berdiri dari sofa dan meraih kunci mobilnya. Ia dengan pelan keluar dari ruang tengah dan menyelusuri mini hallwaynya. Matanya melirik pada Seungkwan sebentar, Bahasa verbalnya berpamitan.
Tak butuh waktu lama bagi Hansol untuk berdiri di depan pintu Jisoo, sendirian.
Tidak ada jantung yang berdetak cepat, tak ada kulit dan bulu yang merinding, dan tidak ada rasa takut sama sekali. Dengan berpamit hanya dengan lirikan, ia sekarang berada disana untuk mencari tahu apakah yang ia asumsikan benar.
Ia mengangkat tangan ingin mengetuk namun tak jadi. Yang ia lakukan adalah kebalikannya, ia memutar kenop pintu dan terbuka.
Hal pertama yang ia rasakan saat masuk adalah udara pengap yang menyesakkan. Kedua, aroma besi basah yang menyengat.
Matanya tak bisa melihat apapun karena gelap yang berkolaborasi dengan asap atau debu entahlah. Kaki panjangnya berjalan pelan menyelusuri lorong pendek. Tangannya meraba pada dinding mencari saklar lampu, tapi yang Hansol temui hanyalah debu tebal menempel di jemarinya.
Ia merogoh saku celananya dan menyalakan lampu pada ponselnya. Ia menelan ludah, untuk pertama kalinya jantungnya berdetak cepat dan bulu tangannya berdiri.
Matanya menoleh pada pintu dan berjalan cepat kesana. Kepalanya menyembul keluar sebentar, "Nomor 407." Ia bergumam. Sekedar meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah kamar.
"Jisoo!" Hansol berbisik awalnya, namun karena tidak ada jawaban dan ia sudah merasa sedikit sesak, ia mengulangi memanggil kawannya sedikit keras dan ada nada panik disana.
Ada apa ini! Ia sangat marah tidak tahu apa alasannya.
"Jisoo!" sekali lagi. Ia berjalan pada kamar disisi kirinya. Pintunya berdebu putih dan Hansol mendorongnya. Sisa debu menempel ditelapak tangannya dan ia sudah tak peduli dengan hal itu.
Ia mendelikkan mata, melihat pada ranjang besar disana. Berharap Jisoo tertidur disana atau apa. Namun saat ia mengarahkan flashlight ponselnya kesana, ranjang itu kosong hanya ada beberapa gulungan tisu bekas dan debu.
Hansol mendesah dan melihat jam pada ponselnya. Pukul 7:41. Ia mendesah sekali lagi dan menghubungi Seungkwan. Namun ia berada pada sambungan tut yang tak putus. Keningnya berkerut dan tangannya menarik ponselnya, reflek. Tidak ada sinyal.
Ia menjadi sangat marah.
"Aku Hansol," ia memulai.
Ia duduk ditepian ranjang berdebu itu dengan tangan yang bertumpu pada lutut. Otaknya terus menimbang antara meneruskan monolog yang mungkin bodoh dan konyol, namun akhirnya ia melanjutkan. Tidak ada salahnya untuk mencoba.
KAMU SEDANG MEMBACA
grand bébé [SEOKSOO]
Fiksi Remaja•Lee Seokmin x Hong Jisoo ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Seokmin seorang hantu penghuni apartemen tua dan Jisoo seorang model menjadi penghuni baru apartemen. ®iam.vidiot