➁➆: luke

6.8K 1K 436
                                    

Twenty Seven: Linkin Park - Leave Out All The Rest

 



Luke terbangun dengan sakit kepala yang begitu hebat. Cowok itu mengerjap dan mendapati dirinya terbaring di kamar lamanya, dengan perban mengelilingi kedua tangannya seperti sarung tinju.

Lalu hal kedua yang Luke rasakan adalah rasa perih di pipinya. Ibunya pasti menamparnya cukup keras semalam sehingga menimbulkan efek yang tahan lama. Luke mengerang lalu mencoba membuka selimutnya, bersamaan dengan suara langkah kaki mendekat.

Luke menoleh dan mendapati Ibunya berdiri di pintu kamarnya. Dia tidak terlihat semarah semalam, tapi Luke tidak yakin.

"How's your sleep?" tanya Liz, tersenyum. Luke tidak tahu apakah itu senyum ikhlas atau sarkastik, yang jelas, Luke masih trauma.

"Good," jawab Luke pelan sambil membuka selimutnya.

Liz berjalan mendekat, lalu duduk di pinggiran kasur Luke sambil memandangi cowok itu lekat-lekat. Luke sempat terdiam ketakutan, sebelum akhirnya Liz angkat bicara.

"I'm sorry I ruined your beautiful face," ujar Liz dengan suara pelan, bahkan terdengar seperti bisikkan.

Itu membuat Luke tergelak kecil. Di sisi lain, dia lega Ibunya tidak akan marah lagi seperti semalam. Vanessa benar, Ibunya hanya shock.

"I deserved it, though," balas Luke sambil memainkan ujung jari-jarinya yang tidak diperban.

"No, no, no," Liz menggeleng-geleng lalu melayangkan jari-jarinya ke rambut putra bungsunya itu. "No one deserves a slap from their mother, Luke. I'm sorry."

"Mum, it's okay," Luke tersenyum tipis lalu melirik Ibunya sekilas. "I should be the one who says sorry a thousand times."

Liz terdiam sebentar, lalu menatap anaknya penuh kasih sayang. "I'm sorry for my bad choice of words, but... life is made to fuck you up, Luke."

Luke mendongak menatap Ibunya. "No, I ruined my own life."

"It's not your choice to ruin your own life, right? It's life's choice. Life decided to ruin you," kata Liz pelan, masih mengusap rambut anaknya pelan.

Luke tidak menjawab. Ia tidak setuju dengan perkataan Ibunya, tapi berdebat juga bukanlah pilihan bagus.

"Mum," gumam Luke setelah cowok itu terdiam agak lama. "Do you hate me?"

Kini giliran Liz yang terdiam agak lama, namun akhirnya terkekeh dan memeluk anaknya itu erat-erat.

"I could never hate you," ujar Liz pelan. "You're a dad now, but you're still my Luke who wears diaper everynight."

Luke terkekeh kecil, lalu mengusap punggung Ibunya pelan. "Do you think you could meet Vanessa's parents?"

"Sure, I'll call them," ujar Liz sambil melepas pelukannya dan tersenyum.

Luke meneguk ludahnya lalu kembali memainkan ujung jari-jarinya. "Are you planning to marry me to Vanessa?"

"Do you want to?"

"Uh..." Luke terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "You can't marry someone you don't love, right?"

"But you liked her so much back then," Liz mengangkat kedua alisnya bingung.

Luke terdiam lagi. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia memimpikan gadis itu jadi pacarnya sejak... sejak seseorang merasuki pikirannya.

"Luke, I hate to say this but you have to marry her," tiba-tiba suara Liz membuyarkan lamunannya.

fifteen | luke robert hTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang