Two: Sabrina Carpenter - Can't Blame A Girl For Trying
Well...
Pamela diterima. Hal kedua yang sama mengejutkannya adalah; dia tidak jadi pelayan. Pamela hanya perlu berdiri di belakang meja order, mengatur pesanan para pelanggan yang mengambil pesanan di meja order. Terlalu mudah.
Dan sore itu, dengan diantar oleh Mary, Pamela memulai hari pertamanya. Tiga hal yang harus ia ingat hari itu; 1) akan ada banyak sekali anak-anak dari sekolahnya yang pasti akan makan disana 2) jangan pedulikan mereka kecuali kenal 3) cari tahu twitter Luke (permintaan Mary).
"Good luck, Mei!" teriak Mary dari pintu saat meninggalkan Pamela, tersenyum sumringah sambil melambai.
Pamela hanya tersenyum. Namun senyumannya berhenti ketika Luke, dari meja kasir di sampingnya, menatapnya aneh.
"I thought your name is Pamela?" ujar cowok itu. Dia berkata begitu seolah dia telah memerhatikan Pamela sejak lama.
Gadis itu ingin menampar pipinya karena imajinasinya mulai menjalar kemana-mana.
"And your name is Luke?" balas Pamela sambil nyengir jahil, membuat pipi Luke terlihat memerah.
Oh, ya ampun. Pamela baru tersadar cowok ini sangat tampan dari dekat. Pamela orang yang mudah ingat dengan wajah seseorang, dan seingatnya kemarin, Luke tidak setampan ini. Atau mungkin ini hanya efek dari membicarakan Luke sepanjang perjalanan kesini bersama Mary?
"Sorry. I just don't want to call you the wrong name," ujar Luke jujur lalu mengendikkan bahunya.
"Mei is a nickname, it's from my grandma. It's from meili, means beautiful in Chinese," ujar Pamela menjelaskan dengan nada bicara sengaja dibuat halus dan feminin. "You can call me Pam."
"So you're half-Chinese?" Luke menopang dagunya, sangat tertarik dengan pembicaraan mereka saat ini. Pipi Pamela langsung memerah menyadari cowok itu menatapnya tepat di mata.
"You can say that. My grandma is Chinese, while my grandpa is Brazilian. My dad is pure American, so I'm like, American-Brazilian-Chinese? I don't know, maybe." Pamela berceloteh tanpa sadar dia sama saja sedang mempermalukan diri sendiri di depan cowok tampan.
Luke hanya nyengir, membuat Pamela makin mati gaya. Pamela mengaku dia sedikit terganggu dengan senyuman manis Luke. Mungkin Pamela menyukainya. Mungkin. Tapi, astaga, mana mungkin Pamela menyukai seseorang dalam waktu yang singkat?
Well, itu bisa saja terjadi kalau 'seseorang' yang dimaksud adalah Luke Hemmings.
Bagaimana tidak? Pamela harus berkedip berkali-kali untuk meyakinkan bahwa Luke benar-benar nyata, bukan hanya khayalan. Dia terlalu indah untuk jadi manusia, begitu kata batin Pamela.
Oh ayolah, Pamela masih punya banyak PR untuk diurus. Bukannya malah memimpikan cowok tampan yang sayangnya berdiri di belakang meja kasir ini.
"You look so-American, though," kata Luke sebelum dia beralih untuk mengambil pesanan pelanggan di depannya.
Pamela hanya tertawa, lalu berusaha mencari kesibukkan untuk menyembunyikan rona merah di pipinya.
Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel, membuat Pamela mendongak mencari sumber suara, yang ternyata adalah ponsel Luke. Memang kedengarannya menyebalkan, tapi Pamela diam-diam menguping.
"Hey, yeah?" Luke menumpukan sikunya pada meja sambil menggerak-gerakkan kakinya dengan bosan. "I'm still working, Van. Don't be such a baby."
Pamela tidak ingin terlihat seperti menguping, jadi gadis itu pura-pura sibuk mengelap mejanya.
"Okay, I'll get you a burger. Alright, cheeseburger. Okay, okay," Luke berceloteh sambil menggerak-gerakkan jarinya diatas meja seolah sedang menggambar corak. "No, you don't have to pay me back. Pay me with a hug is enough 'cos I'm a giant teddy bear."
Luke nyengir sendiri seolah ponselnya adalah benda hidup yang sedang melontarkan lelucon. Apa-apaan itu tadi? Pamela bisa mencium bau-bau patah hati.
Mungkin Luke sudah punya pacar.
Oh, hari yang cerah untuk mimpi yang buruk.
"I'm seriouuus," Luke tertawa lagi, kali ini sambil memukul mejanya pelan. "Just save that money to buy some beers for Michael's birthday party, alright?"
Pamela tidak mau mendengar percakapan selanjutnya karena dia sudah merasa kenyang. Tapi sayangnya kupingnya menangkap suara Luke lagi.
"Okay shut up, I pay the food, you don't have to pay me back. That's final. Bye. I love you."
Pamela terdiam, lalu tiba-tiba saja otaknya seolah berteriak; HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA.
"That was my bestfriend," tiba-tiba suara Luke kembali terdengar. Pamela menoleh ke arah cowok itu yang kini sedang tersenyum polos. Pamela sekarang menyadari Luke punya kebiasaan tersenyum setiap kali bercerita tentang sesuatu kepada orang lain. Ah, cowok banyak senyum itu 100% tipe Pamela.
Dan lihat sisi baiknya; Pamela tidak lagi merasakan beban di dadanya sekarang.
"Cool," jawab Pamela, ikut tersenyum. Dia berusaha menahan dirinya agar tidak bersandar di tembok dengan pose bahagia.
"So, I bet you go to the same school as them?" Luke menunjuk ke suatu arah di restoran itu.
Pamela menoleh ke arah yang ditunjuk Luke. Gerombolan anak-anak satu angkatan diatas Pamela sedang duduk di meja paling pojok, saling bercanda. Mereka mengenakan seragam sekolah (yang menurut Pamela jelek) Fenway.
"Yeah, I go to Fenway," ujar Pamela sambil mengendikkan bahu.
"I went to Fenway too," kata Luke sambil tersenyum (lagi), membuat Pamela merinding. Oke, mungkin kata 'merinding' terlalu berlebihan, tapi memang begitu faktanya.
"Went?" Pamela mengerutkan dahinya. "Went as in the past tense? I mean, you don't go there anymore?"
"Mhm," Luke mengangguk-angguk sementara Pamela memberikan pesanan nomor 14 kepada tiga cowok senior di depannya.
"So, what's your school? East Boston? Somerville? Cathedral? Or you go to British School?" tanya Pamela bertubi-tubi.
Luke menggeleng di setiap pertanyaan.
"Oh, you dropped out of school?" tanya Pamela lagi, membuat Luke kali ini menggeleng lebih keras dan tertawa.
"Mei, I'm in college."
>>>
lol lol lol lol lol lol
mary a.k.a sasha pieterse on multimedia
KAMU SEDANG MEMBACA
fifteen | luke robert h
Fanfiction"i'm fifteen and he is... well, he is turning twenty one."