41. Minta Maaf

11 1 0
                                    

     "Cepetan, Nis!" ucap Yuli di sela-sela langkahnya.

     Yuli berusaha keras mendorong kaki Anisa agar bisa memanjat pagar lebih cepat. Ia segera naik, lalu turun dan berlari menjauh.

     "Hei, kalian!"

     Tubuh yang dipenuhi keringat dingin itu membeku sesaat. Di belakangnya berdiri penjaga sekolah yang sedang memainkan kumis.

     "Dari mana kalian lari-lari?"

     "Da-dari..." Anisa menghentikan bicaranya.

     "Dari perpustakaan, Pak," sela Yuli membuat Anisa dapat menghela napas lega.

     "Oh, cepetan masuk kelas! Semua udah belajar kalian malah lari-lari di sini."

     "Iya, Pak." Yuli mengangguk mantap. Ia menarik lengan Anisa dan berjalan menuju kelas.

     "Untung gak ketahuan," kata Anisa saat mereka dekat pintu ruangan kelas.

     "HOKI! Gue gak bisa bayangin kalau kita ketahuan." Yuli menatap Anisa lalu merengek. "Serem!"

     Anisa menyetujui itu. Ia tahu bagaimana rasanya masuk ruangan BK. dicerca dengan beribu pertanyaan sampai ujung-ujungnya dipanggil orang tua. Bisa jadi masalah bukan, jika Reymond dipanggil karena Anisa bermasalah?

     Mereka masuk ke dalam kelas. Yuli berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan bersikap santai. Lusi masih enggan untuk bicara. Menyapa Anisa pun tidak mau, seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

     Seto, Kandabi dan Eko datang dengan terburu-buru. Mereka segera duduk lalu pura-pura sibuk menulis.

     "Untung, si Kumis Baplang gak lagi jaga gerbang," celetuk Seto mengundang cengiran khas Kandabi.

     "Yoi, Bro. Kalau ketangkap bisa masuk BK lagi kita," balas Kandabi sambil tertawa.

     "Dre?" Seto menatap Andrea yang sibuk menulis. "Lo masih emosi?"

     Andrea tidak menjawab. Kandabi menyikut Seto lalu berbisik, "jangan diganggu ntar ngamuk!"

     Seto mengangguk. Ia menutup bibir rapat-rapat dan mulai mencatat. Sedangkan Eko hanya berdiam diri menatap Andrea yang sibuk menulis. Ia tahu bagaimana perasaan temannya itu. Memang sulit menerima fakta bahwa Rian adalah Kakaknya.

     "Dre," sapa Eko. Ia menyentuh pundak Andrea tapi langsung dilepaskan. "Maaf soal tadi, gue..."

     "Harusnya gue yang minta maaf sama lo."

     Eko menunduk. Perlahan bibirnya terbuka lagi. "Maaf gue baru jujur sekarang. Sebenarnya dari dulu gue udah mau ngomong..."

     "Gue ngerti. Jangan bahas itu lagi."

     Bibir yang tadinya dibuka kini tertutup rapat. Eko diam beberapa saat hingga akhirnya ikut menulis.

     Pagi sudah berganti siang. Teriknya sinar matahari mengundang jam otomatis membunyikan alarm tanda berhentinya proses belajar mengajar. Anisa berdiri, merapikan alat tulisnya dan kembali menatap Lusi.

     "Kamu pulang bareng siapa, Lus?"

     Lusi tidak menjawab. Ia beringsut pergi ke luar kelas.

     "Dia kenapa?" tanya Lusi sambil mengetik di ponselnya.

     "Nggak tau, Yul. Aku juga bingung."

     Yuli masih fokus menatap layar ponselnya. "Coba lo pikir-pikir, mungkin dia pernah sakit hati sama lo?"

     "Nggak, Yul. Aku gak pernah bikin dia marah."

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang