Erni menggerakkan tangan kanannya untuk mengetuk. Ada perasaan ragu sebenarnya. Tetapi tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain mendekati Andrea.
"Dre, Mamah boleh masuk?" Ia menempelkan telinga pada permukaan pintu.
"Masuk aja tapi jangan lama. Saya gak punya banyak waktu."
Erni tersenyum tipis lantas membuka pintu dan menemukan Andrea yang tengah membaringkan tubuh di atas ranjang tanpa mengganti pakaiannya.
"Kok, bajunya gak diganti?" Erni menarik semua keraguannya dan duduk di samping Andrea.
"Terserah saya mau ganti baju kapan. Saya sendiri yang cuci, bukan Anda."
Erni tersenyum ragu. "Kamu mau minum kopi? Biar Mamah buatin."
"Gak usah. Langsung ke intinya aja."
Erni menarik napasnya dalam-dalam. Melihat sikap Andrea yang tidak pernah berubah benar-benar menguji kesabaran.
"Mamah mau tanya sesuatu sama kamu boleh?" Andrea hanya menjawab dengan dehaman yang Erni anggap itu adalah sebuah jawaban yang mendorongnya untuk kembali berbicara. "Kamu udah punya pacar?"
Andrea mengerjap. "Gak ada."
"Mamah cariin mau?"
"Gak usah. Saya udah punya pilihan sendiri."
"Andrea, Mamah sebenarnya punya banyak pertanyaan buat kamu. Tapi, kamu gak akan mungkin jawab pertanyaan Mamah satu-satu."
"Tinggal ngomong."
Erni membuang napasnya kasar. "Jadi gini, sebenarnya Mamah nanya kamu udah punya pacar atau belum itu karena kamu mau dijodohin sama…"
Andrea beranjak dari duduknya dan menarik sebuah handuk yang ia bawa keluar kamar. "Saya mau mandi dulu."
Melihat Andrea yang tidak mau diatur menjadikan Erni seorang wanita yang kuat. Ia menghela napas panjang, kemudian membuangnya perlahan.
Ia berdiri, mengambil tas yang tergeletak di atas ranjang dan memasukkan apa yang keluar dari dalam sana. Senyumnya mengembang ketika mendapati sebuah kotak yang tertutup kertas kado. Tak pikir lama, ia memasukkannya dan menyimpan tas di atas meja belajar.
Seprai yang tadinya kusut kini rapi setelah ia bersihkan. Erni tidak pernah memikirkan jika putra tirinya itu akan mempunyai sikap yang sulit diatur.
🍁🍂🍁
Mentari tenggelam dalam surupnya malam. Anisa duduk di dekat jendela. Kedua matanya tertuju pada senja yang mulai tenggelam. Semilir angin yang membawa aroma berbagai makanan khas kota Bandung menyeruak masuk ke dalam hidung. Namun, itu tidak membuatnya segera pergi dan tetap diam sembari menunggu senja benar-benar hilang.
Tidak ada kegiatan lain yang sering ia lakukan selain melihat senja. Kebiasaan dari kecil yang kedua orang tuanya ajarkan membuat Anisa mengerti apa itu senja. Kebahagiaan yang datang sementara, kemudian pergi dan esok datang lagi.
"Nis," panggil Reymond yang datang sembari membawa semangkuk bubur tanpa toping. "Kamu makan dulu ya!"
Anisa menatap Reymond yang duduk di atas tempat tidurnya. Ia menurunkan kaki dan membiarkan senja hilang dan redup.
"Papah gak usah repot-repot siapin aku makanan. Aku bisa bikin sendiri, kok." Anisa memegang kedua tangan Reymond dan menatapnya gelisah.
Reymond tersenyum mengerti. "Kamu gak usah khawatirin Papah. Mendingan sekarang kamu makan dulu. Takut kurus nanti." Dengan sengaja Reymond mencubit gemas Anisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI SENJA
Teen FictionAnisa terlalu naif untuk menerima keadaan bahwa ia juga mencintai Andrea. Tetapi, larangan dari sang ayah membuatnya menjadi sangat sulit menerima kehadiran lelaki itu. Berulang kali Andrea berusaha mendapatkan hatinya sampai nyawanya nyaris hilang...