48. Gemetar

12 1 0
                                    

     Masker medis yang membosankan menemaninya di setiap detik. Beberapa perawat masih sibuk memasang alat-alat yang membuat sulit gerak. Si dokter malah asik menyentil ujung suntikan sampai akhirnya Anisa tidak bisa merasakan apa-apa.

     "Tolong ambilkan saya pisau kecil!" ucap Dokter itu.

     Wajah gadis itu berpaling, menatap tirai hijau yang mungkin menyembunyikan hadiah besar. Matanya terpejam sebentar, berharap semua bisa baik-baik saja.

     "Siap-siap!" kata dokter itu sambil membenarkan posisi maskernya.

     Lampu bulat terang dinyalakan. Perawat dan dokter sibuk membantu proses operasi selesai. Satu per satu batu kecil dikeluarkan. Lalu disimpan di wadah stainless yang memantulkan cahaya.

     Perban putih dibalutkan. Anisa hanya bergeming. Malas sekali mengungkapkan satu kata, terlalu gemetar menyanggupi keadaan itu.

     "Nanti tolong catat detail elektrokardiografnya!" ucap dokter itu lalu pergi.

     Beberapa perawat pergi. Satu perawat sibuk mencatat, menekan beberapa alat di samping Anisa dan mencatat. Ia segera berjalan ke luar, menghampiri dua orang yang sedang menunggu untuk bisa masuk. Reymond dan wanita tua akhirnya bisa menghela napas lega. Mereka segera masuk menggantikan dokter dan perawat itu.

     "Anisa!" kata wanita tua sambil mendekat dan memeluk. Ia melepas pelukannya. Menyentuh pipi Anisa sambil berkaca-kaca.

     Reymond menatap anak gadisnya dengan perasaan bersalah. Senyumnya yang dingin tidak terlihat. Bibirnya malah sering gemetar ketika hendak berbicara.

     "Maaf, ini salah Papah," katanya lalu membelai rambut Anisa.

     Anisa tersenyum kecil. Bibirnya yang tertarik menimbulkan rasa nyeri di sana. "Nggak, Pah. Ini bukan salah Papah."

     Wanita tua mengambil kursi dan duduk. Ia memegang lengan Anisa lalu menciumnya. "Nenek khawatir sama kamu."

     Anisa tersenyum kecil. Matanya mengedar ke sudut ruangan. Sekejap ia ingat kejadian sore itu. Di hari yang mulai gelap tragedi yang tidak diharapkan malah terjadi. Ia beranjak untuk duduk. Wanita tua dengan sigap membantunya bersandar pada sandaran kasur.

     "Pah...." panggilnya pelan.

     "Iya, Sayang, kenapa?"

     "Aku mau pulang."

     Wanita tua segera memotong, "Jangan, kamu masih harus dirawat."

     "Nek, cuma luka kecil, kok."

     "Anisa, kamu baru selesai operasi. Besok kita pulang, ya?"

     Anisa menggeleng. Napasnya tertarik sebentar. Ada perasaan kecewa saat itu. Kakinya bergerak turun. Gerakan cepat wanita tua berhasil membuat Anisa tidak jadi untuk pergi.

     "Mau ke mana?" tanya wanita tua.

     Anisa menutup matanya sebentar. Ia menatap lekat-lekat wanita tua. "Aku mau ke kamar kecil, Nek."

     "Nenek antar, ya?"

     Anisa tersenyum kecil. "Nggak usah, Nek. Aku bisa sendiri."

     Anisa turun, teras rumah sakit yang dingin berhasil membuat urat syarafnya menegang.

     "Papah antar, mau?" tanya Reymond sambil memegang tangan putrinya.

     Anisa menggeleng. "Pah, aku bisa sendiri."

     Reymond dan wanita tua saling tatap. Mereka akhirnya pasrah dan mengalah. Keduanya membantu Anisa berjalan hingga keluar pintu ruangan.

     "Anisa, kamu yakin mau ke kamar kecil sendirian?" tanya Reymond sekali lagi.

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang