21. Romansa Di Bawah Bendera

86 12 1
                                    

     Anisa memutar bola matanya kemudian kembali menghormati sang Saka. Andrea medekat pada Anisa dan menatap keringat yang muncul dari pilipis gadis itu.

      Ia menyekanya dan membuat Anisa merasa terkejut. Yuli berteriak heboh sehingga membuat minuman yang dipegangnya tumpah ke mana-mana sedangkan Lusi hanya diam dan menunduk.

     "Maaf, tangan aku gatel kalau liat keringet."

     Anisa mengabaikan itu dan menatap kedua temannya. "Kalian kenapa gak mau hormat? Mau aku laporin ke Bapak itu!?"

     "Ma-mau kok." Yuli membuang minumannya ke tong sampah.

     Mereka berdua menengadah, menatap kibaran bendera yang begitu indah. Lusi hanya diam. Air matanya menetes membasahi pipi.

     "Lo hormat juga dong!" Yuli menyenggol Lusi membuat gadis itu sontak menghapus air matanya.

     "I-iya."

     "Lo nangis?"

     "Ngga, kok." Lusi memaksa tersenyum. "Gue mau buang ini dulu," katanya sambil menunjukan minuman berperisa.

     "Ya udah, cepetan!"

     Lusi berlari menuju tempat sampah dan membuang minumanya. Ia menatap cukup lama pada ketiga temannya. Lalu beringsut kembali menghormati sang Saka.

     "Lo ikut hormat juga dong!" titah Yuli memecah keheningan.

     "Iya," jawab Andrea. Tangan kanannya hormat sebelah lagi diam di atas kepala Anisa. "Selama ada aku, kamu aman."

     Anisa hanya dapat menahan kekesalannya setiap Andrea berkata yang tidak-tidak untuknya. Wajahnya masih menatap bendera yang berkibar. Panas di pagi itu terasa sangat memanggang. Yuli dan Lusi sudah banjir keringat duluan.

     "Tenang, aku lindungin kamu, kok!" ucap Andrea sambil tersenyum manis. Tubuhnya yang cukup tinggi membuat sinar matahari tidak terlalu banyak mengenai Anisa.

     Anisa membuang napasnya kasar. Ia tidak peduli dengan laki-laki itu. Kekesalan ditahan kuat-kuat.

     "Kenapa gak kamu terima aja, sih? Udah romantis, ganteng, keren, banyak duitnya lagi. Masa mau disia-siain gitu aja?" bisik Yuli agar tidak didengar Andrea.

     "Aku gak mau pacaran dulu."

     "Seandainya gue jadi lo, udah gue terima dari kemaren."

     Andrea menoleh ke belakang dan melihat guru yang mengajar di kelasnya keluar.

     "Maaf, aku tinggal dulu sebentar. Aku nanti balik lagi, kok!" Ia berlari menaiki tangga dan mengambil alat pel—pura-pura sibuk.

     Ketiga siswi itu membenarkan posisi hormatnya. Guru yang mengajar di kelasnya mendekat dengan kedua tangan yang dikunci di belakang punggung. Dia berjalan mondar-mandir di depan siswinya dan tersenyum kejam.

     "Gimana hukumannya? Mau ditambahin lagi?"

      "Jangan, Pak. Ini aja belum sampe jam 10. Jangan ditambahin, kasian dikit sama kita, Pak," jawab Yuli.

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang