9. Sebuah Siratan Luka

201 36 5
                                    

     Lagu yang diputar itu berganti dengan lagu lainnya. Beberapa kali Eko menutup mata untuk sekedar merasakan melodi yang begitu indah. Dia sama sekali tidak tertarik pada gosip, tidak tertarik pada hal-hal yang berbau glamor padahal keluarganya cukup terkenal. Ia juga tidak terlalu peduli dengan konflik yang sekarang sedang terjadi.

     "Lo lagi lihatin apa si?" Eko membuka earphone dan berbalik menatap Anisa yang tengah diperhatikan oleh teman sebangkunya.

     "Lagi lihatin pemandangan," jawab Andrea singkat.

     "Lo suka sama dia?"

     "Iya. Dia beda dari yang lain, makannya gue suka."

     "Kalau dia gak suka sama lo gimana?"

     "Ya gue kejar terus."

     "Oh." Eko melepas kabel earphone yang tercolok pada lubang ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celana.

     Bel masuk terdengar. Beberapa langkah siswa-siswi yang seperti sedang dikejar hewan buas memenuhi setiap lorong. Tidak lama kemudian muncul Seto dan Kandabi yang mengoceh tidak jelas.

     "Bangsat emang!" Seto memukul meja. "Katanya lo mau bayarin kita makan, tapi lo bohong!"

     "Sungguh tega dirimu pada Kanda, Mas bro."

     Andrea tersenyum sinis sedangkan Eko hanya menyimak. "Lo berdua tau sendiri, kan, kalau gue lagi gak punya duit?" Seto dan Kandabi mengangguk serentak. "Jadi, gue gak salah. Kalian aja yang kurang konek otaknya."

     "Ah! Gue gedek sama lo, Dre!" Seto melengos dan duduk di kursinya yang tidak jauh dari bangku Andrea.

     "Mau ngatain juga?" tanya Andrea setelah melihat Kandabi masih berdiri mematung.

     Kandabi menajamkan penglihatannya. Ia mengangkat tangan kanannya yang memegang ponsel. "Gue gak bakalan ngasih nomer si Mega sama lo."

     "Bodo amat. Gue udah punya yang lain."

     "Sungguh teganya dirimu pada Kanda." Kandabi menurunkan ponselnya dan menyusul Seto. Mereka berdua mengoceh tidak jelas di bangkunya, membuat beberapa orang berbisik untuk saling menukar informasi.

     "Assalamualaikum…"

     Seorang guru perempuan berkerudung masuk dan duduk di kursi guru. Kedua matanya menatap sekitar dan terhenti pada Anisa.

     "Waalaikumusalam, Buk…" jawab mereka serentak.

     "Itu yang duduk sama Lusi murid baru ya?" Anisa mengangguk. "Boleh ke depan sebentar?"

     Anisa berdiri dan berjalan pelan ke depan. Langkahnya terhenti ketika dengan sengaja Andrea memegang tangan Anisa. Bola matanya memutar sebal kemudian melepas tangan Andrea dengan paksa dan menemui guru itu.

     "Ada yang bisa saya bantu, Buk?"

     "Nama kamu siapa? Kayaknya kita pernah ketemu."

     "Hah! Yang bener, Buk? Nama saya Anisa."

     "Anisa?" Guru itu diam sejenak. "Ibunya pasti cantik."

     Anisa tersenyum tipis. "Ibu saya udah gak ada."

     "Ya ampun, maafin Ibu. Berarti kamu tinggal sama Ayah?" Anisa mengangguk. "Nama Ayahnya siapa?"

     "Reymond."

     Degh!

     Guru itu menghilangkan senyumnya dan menatap Anisa tidak percaya. "Sekarang kamu boleh duduk lagi."

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang