32. Penyontek Yang Tau Diri

57 8 1
                                    

     "Sekarang gue harus ngapain? Masa minta balikan?" jerit Yuli membuat teman siswinya merasakan hal yang sama.

     "Cari yang lain aja," sahut siswi yang mengenakan pita kuning di baju lengan kirinya.

     Yuli hanya diam sambil sesekali mengusap air matanya yang menetes. Ia menunduk, memikirkan beberapa hal tentang kriteria laki-laki yang akan menjadi pacarnya.

     "Udah, jangan nangis terus. Bentar lagi masuk, kalau Pak Haris datang, bisa habis kamu diceramahi pake rumus matematika," ujar siswi berambut kepang dua. Mulutnya memang ember dan sulit sekali berhenti ketika berbicara.

     Yuli mengangguk pasrah. Beberapa detik kemudian semua keramaian itu menghilang dan Yuli sudah tidak menangis lagi.

     "Nis, kamu udah ngerjain PR belum?" kata Lusi sembari duduk.

     "Udah," jawab Anisa setelah selesai duduk dan mengeluarkan beberapa alat tulis.

     "Aku lihat, dong! Lupa belum ngerjain."

     "Tapi, kalau jawabannya salah jangan salahin aku ya!"

     "Iya, tenang aja. Mana bukunya?"

     Anisa mengambil sebuah buku tulis dengan sampul merah dan langsung diberikan pada Lusi. Tampak senyum orang-orang yang biasa datang saat mereka butuh. Ya, Lusi melakukan senyuman itu.

     "Makasih."

     Secepat kilat Lusi mulai menyalin pekerjaan rumah yang harusnya tidak dikerjakan di sekolah. Sedangkan Anisa hanya menatap kosongnya ke dua bangku yang biasa ditempati Andrea dan ke tiga temannya.

     "Sssst!" desis seorang lelaki di sampingnya.

     Anisa menoleh, menatap bola mata cokelat laki-laki itu. "Iya?"

     "Kamu kenapa?"

     "A-aku? Kenapa?" tanyanya dengan bingung. "Nggak. Gak ada apa-apa."

     "Jangan kebanyakan ngelamun kalau gak mau ada yang ngikutin."

     "Maksudnya?"

     "Dia ada di belakang."

     Anisa memutar kepalanya dengan ragu dan hanya melihat tembok. Tidak ada orang lain atau benda apapun yang membenarkan pernyataan teman sekelasnya itu. Sebenarnya apa yang siswa laki-laki itu bicarakan?

     "Nggak ada apa-apa, kok," ucap Anisa padanya. Namun, sekarang laki-laki itu malah terdiam dan fokus dengan layar ponsel.

     "Nis!" Lusi menghentikan kegiatannya sebentar. "Aku mau tanya, kalau berat benda sama dengan massa air, jawaban harus Andrea?"

     "Hah! Mana?" Ia merebut buku tulisnya dan membaca kalimat yang ditunjuk Lusi.

     Tangan kirinya terangkat dan menepuk kening. Keadaan semalam yang membuatnya tidak konsen belajar membuat tugasnya acak-acakan.

     "Kamu suka sama Andrea?" tanya Lusi dengan wajah penasaran.

     "Kata siapa? Nggak, kok. Aku sama dia cuma temenan aja."

     "Beneran?"

     "Iya, Lusi. Kenapa sih, tiba-tiba nanya kayak gitu?"

     Lusi tersenyum simpul. "Aku saranin, kalau mau pacaran jangan sama Andrea. Dia gak cocok buat kamu."

     "Kok, kamu ngomongnya gitu?"

     "Nis, aku tau sifat Andrea yang asli itu kayak gimana. Kamu gak usah deket-deket sama dia."

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang