Tidak pernah terpikir bahwa di sana ada hati yang menunggu untuk dikabulkan harapannya. Namun, Andrea terlalu bersikap acuh pada orang yang menurutnya tidak sesuai selera. Ia telah menentukan masa depannya sendiri. Tetapi, akankah manusia berhasil dalam menciptakan masa depannya sendiri?
"Andai kamu tau kebenarannya, mungkin aku gak akan kayak gini," batin gadis itu.
Ia kembali melangkah, menginjakan kaki satu per satu pada tangga yang dingin terkikis udara. Sesekali ia melihat ke arah belakang, memastikan bahwa ada sosok lelaki yang ia kagumi akan menyerukan namanya. Namun, sampai sekarang itu tidak terjadi. Mungkin benar kata takdir. Cinta yang usai akan menjadi sejarah dan cinta yang dipendam akan menjadi masa lalu yang kelam.
"Gimana, berhasil?" tanya Erni yang sedang berdiri dan hendak menaiki tangga.
Sejenak gadis itu melupakan segalanya. Semuanya yang mungkin terlalu menyakitkan untuk diingat. Ia perlahan mendekat pada Erni. Senyumnya terukir begitu indah sekali. Tidak terlihat rona kepalsuan sama sekali.
"Katanya dia gak mau diganggu." Gadis itu memaksa tersenyum.
Erni membuang napasnya kasar. "Andrea emang kayak gitu. Maklumin aja, ya."
Gadis itu tertawa. "iya, Tante," balasnya sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.
Erni terseyum tipis. Ia tahu, bahwa gadis itu kecewa atas sikap yang diberikan Andrea. Ia juga tahu, setiap gadis pasti akan merasakan sakit hati bila dekat dengan Andrea. Namun, gadis ini terlalu sabar, meskipun semua yang ia tunjukan terlihat samar.
"Yuk, kita makan! Tante udah siapin makanan yang banyak buat kamu."
Gadis itu mengangguk dan pergi begitu di dorong kemauan Erni. Ia tidak mengerti kenapa dunia tidak ada yang adil. Bahkan, jaksa pun tidak pernah tahu mana yang harus dilakukan jika kedua hati saling bertolak belakang.
---=Geser Dikit Ke Bawah=----
"Gue gak nyangka kalau ada yang tega lakuin semua ini sama kita," ucap Seto sembari mengunyah pangsit.
Kandabi meletakkan sendok yang hendak dimasukkan ke dalam mulutnya. "Gue penasaran siapa yang lakuin ini."
"Menurut lo siapa?"
"Mungkin, Gilang? Kan, dia agak gak suka sama perkumpulan kita."
"Gak mungkin. Kalau dia yang bikin ulah, pasti urusannya udah ke jalanan. Kayak tawuran atau duel satu-satu." Seto mencelupkan pangsit ke kuah mi. "Jangan-jangan... Eko?"
"Kok, lo main nuduh aja? Buktinya apa?"
"Ya sorry, gue curiga aja."
Mereka kembali memakan mi pangsit yang hampir setengahnya sudah dihabiskan. Hanya beberapa orang yang tersisa dan mengisi malam harinya dengan kegembiraan. Berbeda dengan Andrea. Yang kini hanya terus memikirkan Anisa, sosok yang telah membuka hatinya.
---=Geser Ke Bawah Dikit=---
Anisa menatap indahnya sinar mentari yang terlihat muncul dari balik awan. Pagi ini rambutnya terbang tergoyang angin. Senyumnya melebar tipis ketika wajah laki-laki itu muncul dalam benaknya. Pagi itu terasa sangat indah dengan udara segar yang menyentuh kulit.
Ia membalikkan tubuh dan menyender pada tembok. Sejenak matanya tertutup untuk membuat senyumnya hilang. Tetapi, rasanya sulit. Andrea selalu muncul dengan tingkah konyol.
"Kenapa kamu ganggu aku terus sih," gumamnya pelan.
Ia memejamkan mata berulang kali dan berhasil membuat Andrea sedikit tidak menganggu pikirannya. Ia menatap jarum jam yang menunjukan pukul 05.23 WIB. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk menyiram tubuh dengan air pegunungan. Rasanya memang dingin, tetapi sangat baik bagi tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI SENJA
Ficção AdolescenteAnisa terlalu naif untuk menerima keadaan bahwa ia juga mencintai Andrea. Tetapi, larangan dari sang ayah membuatnya menjadi sangat sulit menerima kehadiran lelaki itu. Berulang kali Andrea berusaha mendapatkan hatinya sampai nyawanya nyaris hilang...