50. Merelakan Untuk Selamanya

52 1 0
                                    

     Perlahan Andrea memudar. Hilang pelan-pelan bersama senyumnya yang manis. Anisa menolak keputusan itu. Ia berontak dari posisinya hendak meraih tangan Andrea. Namun, ia tidak bisa dan hanya bisa menangis.

     Matanya terbuka. Ia segera mencari sosok yang tadi berbicara kepadanya. Sejenak ia ingat apa yang lelaki itu titipkan. Dengan cepat membuka kepalan lengan dan menemukan sebuah liontin perak. Ia menggenggam, mengepal kuat-kuat sambil menahan tangis.

     "Hai, Anisa!" sapa Reymond tanpa melihat karena sibuk memasang kancing lengan bajunya. "Ayo mandi, kita berangkat sekarang."

     Anisa menutup mata sejenak. Ia buru-buru membersihkan bekas noda tangis di sudut matanya. Dengan cepat turun dan meraih handuk.

     "Tunggu!"

     Ucapan itu membuatnya mematung sebentar.

     "Kamu nangis?"

     "Ng-nggak, kok," katanya terbata-bata. "Cuma kelilipan aja."

     Reymond mengangguk pelan. "Jangan keramas dulu ya, perbannya gak boleh basah."

     Anisa mengangguk. Ia melangkah keluar kamar sambil menggenggam erat handuk dan liontin yang diberikan Andrea di dalam mimpi.

     Sesuatu yang sangat menyendat hati telah menimbulkan luka di dalamnya. Anisa hanya bisa diam di atas kursi mobil yang empuk. Pandangannya lurus ke depan tanpa tujuan. Harapannya telah hilang, hidupnya kurang penyedap rasa.

     Reymond memberikan Anisa sebuah ponsel yang jarang sekali disentuh. "Hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon Papah atau Nenek. Nanti pulangnya Papah jemput, ya."

     Kalimat itu menutup perjumpaan ia dengan Reymond. Mobil bergegas pergi setelah menurunkannya di depan gerbang sekolah. Semua orang bergerak, untuk melirik dan memastikan siapa yang datang.

     "ANISA!" teriak Yuli.

     Cewek itu berlari dengan cepat setelah menyedot habis minuman kemasan. Ia memeluk Anisa, lalu tersenyum.

     "Gue dengar lo kecelakaan, lo gak punya luka parah, kan?" kata Yuli sembari menatap wajah Anisa dan perban di kepala bergantian.

     "Nggak, Yul. Cuma luka kecil aja."

     Yuli bersiap, ia membawa Anisa dengan cepat masuk ke dalam kelas sebelum temannya itu dicecar seribu pertanyaan oleh warga sekolah.

     Di kelas yang tidak terlalu ramai membuat perjalanan mereka mulus. Anisa duduk di samping Yuli. Beberapa orang mendekat, lalu berdiri mengelilingi meja Anisa.

     "Nis, lo kecelakaan di mana?"

     "Sakit nggak, sih?"

     "Itu, sih, parah. Pasti nyut-nyutan."

     "Gue dengar lo kecelakaan sama Andrea, ya? Kalau di film kecelakaan bareng bisa jodoh, lho."

     "Apaan, sih, lho!" Yuli berdecak kesal. "Jangan banyak tanya apalagi bilang yang nggak-nggak. Anisa baru sembuh."

     Anisa tersenyum kikuk. Ia hanya menunduk lesu. Tidak menyangka ternyata hari ini ia akan berpisah dengan Lusi.

     "Nis, lo nggak apa-apa, Kan?"

     Anisa tidak menjawab pertanyaan Yuli. Ia menunduk beberapa saat hingga Lusi datang. Keputusannya untuk berbicara dan mengucapkan salam perpisahan terlalu berat dilakukan.

     "Nis, maaf kemarin aku nggak jenguk kamu," ucap Lusi penuh khawatir.

     "Nggak apa-apa, aku cuma luka kecil, kok."

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang