Tanpa sadar pelukan hangat menggelayut di tubuh Andrea. Laki-laki itu tersenyum tengil atas apa yang dilakukan Anisa. Entah sengaja atau tidak, itu adalah kesempatan besar yang selama ini ia nantikan.
"Cie... Meluk," ucapnya diselingi tawa. Giginya terbuka hendak kering karena angin.
Dengan cepat Anisa mencubit dan menarik tangannya sehingga hanya memegang jaket Andrea. "Hih! Apaan, sih. Kegeeran."
Andrea tertawa senang. "Kalau mau peluk ya, peluk aja. Aku ridho ikhlas batin, kok."
"Ya ampun, maunya..."
Sore itu, saat senja hampir luput dari pandangan. Ada yang membuat suasana hati seseorang keruh. Siapa lagi kalau bukan dia? Remaja yang hanya mencintai dalam diam sedang melihat semuanya. Sakit, rasanya pasti sangat sakit.
Sepeda motor itu mulai masuk ke dalam barisan motor yang berjajar rapi. Anisa segera turun dan menunggu Andrea. Membuka helm, menyaksikan keramaian di sekitarnya.
"Nitip motor, Mang!" ucap Andrea pada seorang pria dengan pakaian standar, tidak terlalu rapi yang menghampirinya.
"Siap!" balas pria itu.
Andrea menyempatkan diri untuk bercermin dan menyengir, memastikan bahwa tidak ada kulit cabai yang menempel pada giginya. Ia kembali menutup mulut, mencolek Anisa dan tersenyum simpul.
"Sini helm-nya!" Andrea mengulurkan kedua tangan.
"Gak mau." Anisa mendengus sembari menarik helm ke samping pinggangnya. "Kalau helm ini hilang aku pake apa? Kalau misalkan aku jatuh dari motor terus aku amnesia, nantinya kamu juga, kan, yang sedih?"
Andrea tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gak papa. Gak bakalan hilang, kok."
"Tapi..."
"Udah tenang aja, aku bakalan lindungin kamu, kok. Tenang aja." Andrea tersenyum meyakinkan.
Akhirnya Anisa luluh dan mau memberikan helm itu meskipun sedikit ragu. Ia kembali menunggu sambil sesekali menatap ke arah keramaian.
"Yuk!" Andrea menggenggam tangan Anisa dan perlahan melangkah masuk ke dalam keramaian. "Kamu mau beli atau makan atau main apa?"
Anisa diam sejenak karena bingung akan melakukan apa di tempat seramai itu. Ini adalah keramaian malam, di lapangan terbuka. Apalagi kalau bukan pasar malam.
"Kamu ngapain bawa aku ke sini? Emangnya aku anak kecil?"
"Pasar malam bukan buat anak kecil doang, tapi buat semua orang." Ia menatap tempat yang penuh dengan gantungan kapas merah muda "Ke sana aja, yuk!"
Anisa menurut begitu Andrea menarik tangannya. Mereka diam mematung, menatap begitu banyaknya rambut nenek atau di Bandung biasa disebut aromanis.
"Mang, aromanisnya satu!" Andrea mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang selembar.
"Kok, belinya cuma satu, buat aku mana?" bisik Anisa. Penjual aromanis yang mendengar itu hanya tertawa cengengesan.
"Gak papa."
Anisa kembali mencubit pinggang Andrea. Ia cemberut selama perjalanan, tidak suka dengan keadilan yang Andrea berikan.
"Sini duduk!" ajak Andrea dengan wajah bahagia. Anisa begitu saja menurut dan duduk bersama, meskipun hatinya sekarang sedang iri.
"Pertama, aku mau kamu bilang sesuatu sama aku." Andrea mulai membuka bungkusan aromanisnya, "Kamu harus bilang aku ganteng kalau mau ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI SENJA
Teen FictionAnisa terlalu naif untuk menerima keadaan bahwa ia juga mencintai Andrea. Tetapi, larangan dari sang ayah membuatnya menjadi sangat sulit menerima kehadiran lelaki itu. Berulang kali Andrea berusaha mendapatkan hatinya sampai nyawanya nyaris hilang...