46. Senja dan Sepeda

13 1 0
                                    

     "Kita langsung pulang aja?" kata Andrea sambil sibuk menggoes sepeda.

     "Katanya mau ada sesuatu yang mau ditunjukkin?"

     Andrea melepas sebelah tangannya untuk menepuk kening tapi tidak lama karena sepeda itu sedikit hilang kendali. "Maaf, aku lupa."

     "Iya, kamu cape gak?"

     "Nggak, kenapa?"

     "Biar aku yang goes."

     "Nggak usah, gak berat juga kok. Serasa bawa kapas."

     Anisa mencubit pinggang Andrea. "Nyindir?"

     Andrea tertawa lepas. "Nggak, cums faktanya gitu."

     Mereka berhenti di depan kedai es krim.

     "Kamu mau es krim?"

     "Terserah."

     Andrea kembali menggoes sepedanya. Anisa mulai cemberut sambil sesekali melihat ke arah belakang, tidak tega melihat lelehan es krim ditinggalkan.

     "Mau kebab?"

     "Terserah." Lagi-lagi Anisa cemberut.

     "Mau pisang ijo?"

     "Terserah."

     Andrea berhenti menggoes. Ia turun sambil memegang stang sepeda. "Terus mau kamu apa? Daritadi ditanya bilangnya terserah terus."

     "Ya terserah, aku bebas mau makan apa aja boleh."

     Andrea tidak memedulikan itu. Ia kembali naik ke atas sepeda dan menggoes di pinggir jalan.

     "Mau bakso ayam?"

     "Terserah."

     "Mau mi kocok?"

     "Terserah."

     Andrea menggeleng. Beberapa kesempatan sempat mendengus kesal. "Mau racun tikus?"

     "Terserah."

     Karena sudah sangat stres dengan jawaban tersebut, akhirnya ia berhenti dan memarkirkannya di samping pedagang rujak.

     "Kok, berhenti di sini?" protes Anisa.

     "Katanya terserah."

     "Ya aku mau makan yang lain."

     Andrea menelan semua kekesalannya. Ia memaksa tersenyum lalu naik lagi ke atas sepeda.

     "Kamu bilang dong, mau makan apa!"

     "Terserah, aku ngikut aja."

     Andrea turun dari sepedanya. Disusul Anisa yang sedang kebingungan. Ia menyandarkan sepeda di samping pohon mangga.

     "Mau apa kita di sini?"

     "Makan lah."

     Anisa menatap sekeliling. "Makan apa? Gak ada yang jualan."

     "Makan bebas aja. Kamu maunya gitu kan?"

     Tidak lama kemudian datang seorang pria tua dengan tanggungan cilok. Anisa tersenyum senang.

     "Beli itu!" tunjuknya

     Andrea mengangguk. Akhirnya Anisa tidak bilang terserah lagi.

     "Dua bungkus, ya." Andrea memberikan beberapa lembar uang.

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang