36. Titisan Suzanna

64 5 3
                                    

     Bianglala itu masih berputar. Anisa diam sejenak menikmati masa-masa indah saat remaja—bersama orang yang ia cintai. Begitu hangat, lebih hangat dari api yang membara. Begitu memesona, lebih memesona dari pemandangan yang ada di kota Bandung.

     "Bentar lagi kita turun, kamu siap-siap, ya!" Andrea menyelipkan rambut Anisa yang terlalu panjang pada sisi telinga. Ia tersenyum, menatap Anisa dengan mesra.

     "Iya," jawab gadis itu sembari membenarkan jaket yang ia kenakan. "Kamu gak ngerasa dingin?"

     "Nggak, kamu pake aja jaketnya."

     "Makasih, ya."

     Perlahan roda raksasa itu berhenti. Anisa melangkah perlahan dengan dituntun Andrea. Mereka berjalan melewati beberapa orang yang mengantri; menunggu giliran untuk duduk dan menikmati pemandangan menggunakan bianglala.

     "Duduk dulu," ucapnya sembari menarik Anisa untuk duduk bersama. "Kamu lapar, mau aku beliin makanan?"

     "Gak usah, aku gak lapar, kok."

     "Kamu harus nurut kalau nggak aku paksa."

     "Kok, gitu?"

     "Pokoknya kamu harus makan. Apapun alasannya kamu harus makan."

     Anisa mengecap bibir. Ia menatap ke arah lain, berusaha membuang jauh-jauh tatapan Andrea yang menyeramkan.

     "Aku mau sate," kata Anisa. Tampak senyum menyeringai.

     "Ya udah, yuk!"

     Kedua kaki itu bertopang pada rumput yang memanjang. Berjalan menggeser ribuan debu yang tidak terlihat mata biasa. Anisa tersenyum, duduk dan diam menunggu Andrea mengambil pesanannya.

     Andrea merogoh dompet dari saku celananya. "Mang, sate!"

     "Berapa tusuk?" jawab tukang sate yang sedang sibuk membuat acar.

     "200 tusuk!" jawab Anisa dengan cepat.

     Andrea menoleh, menelan ludah kasar. "Jangan banyak-banyak, nanti kolestrol."

     "Ih! Kamu, gak seru, ah." Anisa memajukan bibirnya dan merajuk, bersikap sedih.

     "Jangan cemberut gitu." Andrea membelai rambut Anisa. "Iya, aku beli 200 tusuk."

     "Nah, gitu dong! Kan, gantengnya makin nambah."

     Andrea menghela napas. Tangan kanannya menyodorkan beberapa lembar uang yang langsung diterima oleh tukang sate dengan senang. Ia menoleh, menatap Anisa yang sedang asik memainkan jari-jemarinya. Perlahan kakinya melangkah, kemudian duduk di samping Anisa.

     "Kamu yakin mau makan 200 tusuk?"

     "Iya, kenapa?"

     Andrea menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gak papa, tapi ya itu. Kamu gak takut kolestrol?"

     "Nggak."

     "Percaya diri sekali jodohku ini."

     Aroma sate yang dibakar menghentikan obrolannya. Mereka menatap tukang sate yang datang dengan dua piring daging tusuk dipenuhi bumbu.

     "Ini baru 43 tusuk, yang lain masih dibakar," ucapnya sebelum akhirnya pergi.

     Andrea menatap Anisa serius. "Masih ada 157 tusuk lagi. Habisin semuanya!"

     "Siap, Komandan!"

     Tanpa pikir panjang Anisa langsung saja menyerbu sate yang sudah disediakan. Kedua tangannya bergerak dengan cepat—memasukkan satu per satu sate yang dikunyah dengan cepat.

MENITI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang