BAB 9

1.6K 58 0
                                    

***

Lian melangkah menuju ke teras sebuah rumah megah, pemilik dari rumah yang ia tempati. Ada hal yang harus diselesaikannya terutama urusan gaib yang menyerang keluarga dan pengasuh putrinya. Kedatangannya itu disambut hangat oleh seorang pria bertubuh gempal dengan perawakan yang bersahaja, mereka saling menjabat tangan kemudian berpelukan bak seorang sahabat.

"Bukankah anda Pak Lian Brawijaya?"

"Iya, saya Lian Brawijaya yang sempat menghubungi anda."

Pria itu mengajak Lian untuk masuk ke dalam rumahnya, duduk di sofa ruang tamu. Rumah itu sangat megah bahkan ruangan-ruangan di sana juga amat luas. Ayah dari Vanya itu menatap ke arah foto pria pemilik rumah, di bingkaimya terdapat tulisan nama Freddy Henderson.

"Perjalanannya sangat jauh ya, Pak Lian," ucap pria tersebut yang ternyata bernama Freddy Henderson.

"Yah, lumayan, tapi saya sangat bersyukur bisa sampai di sini."

"Seharusnya seperti itu karena ... rumah baru anda cukup jauh dari perkotaan, bukan?" Freddy menyipitkan mata dan menatap tajam ke arah pria muda tampan itu, tentunya sikap Freddy padanya membuat Lian ingin segera menanyakan beberapa hal tentang rumah itu.

"Maaf, kedatangan saya di sini hanya untuk bertanya mengenai rumah baru saya."

"Oh, silakan saja."

Dihelanya napas panjang, ia tak peduli jikalau pria parubaya itu menganggap halusinasi ceritanya, tapi rasa penasaran ini harus disudahi.

"Apa benar anda adalah pemilik rumah yang saya tinggali saat ini?" Kini, Lian menatap Freddy dengan serius.

Alih-alih menjawab, pria itu malah tertawa lepas seakan pertanyaan yang dilontarkan Lian begitu menggelitik.

"Pak Lian ini ngomong apa sih? Saya gak ngerti. Jelas itu rumah milik saya," jawab pria itu dengan masih terkekeh.

Meski sudah dijawab pun rasa penasarannya masih mengganjal hatinya, pria muda itu merasa bahwa ada sesuatu hal yang tengah disembunyikan Freddy.

"Apa sebelumnya ada yang memiliki rumah itu selain anda?" tanya Lian lagi, tapi kali ini lawan bicaranya mulai memasang wajah serius.

"Kenapa anda masih gak percaya sama saya? Dari dulu, rumah itu memang milik saya. Itu adalah peninggalan dari kakek saya. Kalau tidak percaya, biar saya tunjukkan sertifikat rumahnya."

Pria itu kini beranjak meninggalkan Lian dan rasa curiganya hingga beberapa menit, ia kembali membawa berkas-berkas rumah lama tersebut ke hadapan suami dari Yura itu. Ditunjukkannya surat kepemilikan dan tanda tangan dari seorang pria bermarga Henderson sambil meyakinkannya.

"Lihat, ini adalah nama dan tanda tangan saya. Sudah tertera di sana, itu berarti rumahmu menjadi kepemilikan mutlak saya dahulu."

Dengan jawaban dan semua bukti itu, Lian kini mulai percaya. Dari mata kepalanya, surat itu memang tertera nama kakek Freddy dan tahun dimana rumah itu dibangun. Namun jauh di dalam lubuk hatinya masih terdapat sebuah kejanggalan.

Ingin sekali dirinya menanyakan kembali dan menceritakan semua yang telah dialami di dalam sana, tapi rasanya semua itu tidak ada gunanya. Freddy juga tak akan mempercayainya.

Sementara itu di rumah baru Lian yang begitu antik, tepat di pagi hari dengan langit yang mendung membuat ruangan demi ruangan sedikit gelap. Keinara membuka pintu kamarnya, ia tak sadar apa yang terjadi semalam. Kepalanya serasa pusing dan tubuhnya sangat lemas.

Belakangan dirinya merasa tak enak badan, tentu saja imbas dari kerasukannya semalam. Tak banyak hal yang ia ingat, tapi selama dirinya kerasukan itulah Keinara bertemu lagi dengan sosok pemuda berwajah setengah hancur.

Gadis sang pengasuh itu teringat bagaimana pemuda berwajah menyeramkan mengejarnya tanpa pernah membiarkannya bersembunyi. Berlari ke dalam hutan yang sebenarnya tidak pernah ada di dunia nyata, tapi hantu bisa menemukan keberadaannya.

Lelah dan lelah, itulah yang Keinara keluhkan. Ia menangis dalam kegelapan hutan sampai pada akhirnya ia menyerah. Pemuda itu terdiam memamdanginya.

"Siapa kamu? Kenapa kamu mengikutiku?" Gadis cantik dengan rambut panjang terurai kini mulai memberanikan diri untuk berbicara pada makhluk itu.

Pemuda itu hanya diam menatap paku ke arah gadis itu. Keberadaannya yang semakin membuat Keinara frustasi mengingatkannya dengan teman khayalan Vanya.

"Kamu Kiyo, 'kan? Kamu yang selalu nemenin Vanya dan hampir mencelakai kami!"

Nama yang terlontar dari mulutnya membuat sosok hantu pemuda tampan perlahan dengan gerakan patah-patah membungkuk ke arahnya, lalu secepat kilat bersimpuh. Jarak mereka hampir tak ada celah, semakin lama hantu itu menatapnya membuat tubuhnya begitu lemas.

Keinara tak dapat memejamkan matanya, dalam hati ia berharap pingsan. Aroma seperti kayu dipahat dengan gergaji mesin mulai tercium, pikiran gadis itu mengarah pada apa yang terjadi di masa lalu.

"Apa yang terjadi sama kamu?" Tetap pemuda itu tak menjawab.

Entah berapa lama mereka mematung saling menatap hingga perlahan gadis pengasuh itu merasakan sentuhan halus seperti tubuhnya dipeluk. Ia melihat lengan tangan roh pemuda yang menyeramkan itu melingkar di pinggangnya.

Selang setelahnya, ia mendengar suara tangis. Darah yang mengucur dari netra hantu itu menetes ke pahanya dan membuat Keinara ingin mengetahui penyebab dari hantu itu bernama Kiyo itu menangis darah.

"Kiyo, kamu----"

"Maafkan aku, Keinara."

Ucapan itu membuatnya mematung, sedang Kiyo mulai memeluknya erat di tengah kegelapan.

"Aku harap kamu mengingatku ... mengingat semua tentang kita ... aku mencintaimu," bisik Kiyo.

Gadis itu cepat tersadar dari mimpinya, tapi suara itu masih membekas dalam ingatannya. Pertanyaan tentang kerasukannya sebenarnya sudah terjawab, itu karena Kiyo ingin berbicara dengannya melalui alam bawah sadar. Namun perkataan yang dimaksud pemuda itu seakan menginginkan Keinara untuk menyusun teka-teki masa lalunya dan rumah ini.

"Apa perkataan Kiyo itu ada hubungannya sama rumah ini?" gumam Keinara.

Ia menyandarkan diri di dinding sambil memikirkan petunjuk itu, tepat saat Yura datang menghampirinya dan membuatnya terkejut.

"Kenapa pagi-pagi bengong? Kamu masih belum sehat?"

"E-eh, Bu Yura?"

Gadis itu menyunggingkan senyum. Kini, ia melangkah mengikuti Yura menuju ke dapur untuk membantu wanita itu mempersiapkan sesuatu. Mereka berbincang mengenai banyak hal, termasuk kegiatan kuliahnya di sana.

"Kei, bentar lagi kan neneknya Vanya mau nginap. Tolong kamu bantu saya bersihin ruangan ya. Terutama kamar tidur kosong di dekat kamar saya dan Mas Lian," titah Yura sembari mencuci piring, sedang dibalas dengan anggukan gadis cantik itu.

Tangannya sigap membantu sang ibu muda menata piring-piring di lemari, ketikat itu juga rasa penasaran di dalam hatinya mulai tumbuh.

"Bu, saya mau tanya, dong. Sejak kapan Vanya punya teman khayalan?" tanyanya seraya memperhatikan wajah Yura yang tengah berpikir.

"Sejak pindah kesini, sih. Vanya suka ngomong sendiri. Apalagi kalo malam, saya sama suami gak boleh masuk ke kamarnya," ujar wanita itu.

"Vanya cerita sama anda tentang teman khayalannya?"

"Pernah. Anak saya cerita kalo teman khayalannya itu punya orang yang disukai sejak kecil. Itu aja yang saya tahu."

Gadis itu terdiam sejenak, mencoba menyusun potongan puzzle itu. Memori saat melihat foto seorang anak lelaki sampai perkataan Kiyo yang terus terulang. Namun tetap ia tak dapat mengingat apapun.

"Haruskah aku masuk ke dalam ruangan itu?" gumamnya.

~***~


DISUKAI JIN PELINDUNG ANAK ASUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang