BAB 24

1.2K 46 0
                                    

Matanya memandang menelisik sekitar hutan, termasuk mobil terbengkalai itu. Keadaan mobil itu sangat kontras dengan yang ia temui waktu itu, seperti sebuah kejadian naas baru saja terjadi.

Perlahan kaki Keinara melangkah mendekati mobil yang kosong tanpa pemilik. Tak ada tanda-tanda kehidupan meski lampu dari mobil itu masih menyala.

Semakin dalam ia mencari bahkan di belakang mobil ini, tak ada satupun tanda-tanda yang mencurigakan. Di titik ini, Keinara mulai merasa kebingungan.

"Sepertinya tidak ada apa-apa di dalam sini. Lalu apa yang aku cari?" gumamnya seraya melangkah berbalik.

Tepat dimana ia melangkah, sesuatu berupa benda yang berdaging tak sengaja tersenggol oleh kakinya. Ia menunduk mencoba memastikan benda apakah yang baru saja mengenai ujung sepatu pantofle-nya. Terlihat ada sebuah tangan yang menjulur dari kolong mobil, telapaknya menengadah seakan meminta tolong.

Keinara yang sedikit ragu dengan apa yang dilihatnya kini mulai memberanikan diri. Ia berjongkok lalu bersimpuh, menyentuh perlahan telapak tangan itu apakah masih berdenyut nadinya. Amat dingin saat menyentuh kulitnya, pertanda tidak ada lagi kehidupan.

Sejenak gadis pengasuh itu berpikir bahwa ini adalah tangan boneka, tapi saat menggenggam tekstur kulitnya baru ia sadari bahwa tangan itu bukanlah tangan boneka. Kini untuk memastikannya, ia harus mengintip ke kolong mobil.

Kepalanya mulai menunduk, mengintip ke sela-sela kolong itu hingga sesuatu membuatnya terkejut.

"A-apa ini?" pekik Keinara.

Dari pandangan matanya di bawah kolong mobil itu, terdapat seonggok mayat dengan keadaan yang mengenaskan. Tubuhnya sedikit gemuk terhimpit oleh kolong mobil yang jarak antara mobil dengan tanah amat sempit, sangat mustahil tubuh manusia bisa masuk ke bawah sana.

Keadaan raganya juga tak karuan, tubuh tak bernyawa dengan keadaan meringkuk hingga tulang-belulangnya menonjol menembus kulit. Kepalanya pecah dan menyisakan otak di ubun-ubunnya.

Darahnya terus memancar seperti pipa air yang bocor. Cipratan cairan merah itu mulai mengenai wajah Keinara. Wajah cantiknya mulai berlumuran darah, ia kini bangkit dengan raut keterkejutannya.

Pandangannya begitu linglung seraya menghapus darah yang menodai wajahnya, memandang telapak tangannya dengan penuh rasa tak percaya.

"Hah? Aaaaaaaaaaaaaa!" Jeritan ketakutannya begitu keras menggema di tengah hutan, memecah kesunyian.

Namun tepat setelah ia berteriak, suasana kembali seperti semula saat berada di dalam kamar misterius itu. Ia bangkit dari lantai ruangan itu, terduduk dengan napas yang terengah-engah.

Keinara kembali teringat dengan keadaan mayat itu, sisi wajahnya yang tersisa mengingatkannya pada sosok pria misterius yang berdiri memandang paku rumah Lian.

"Apa jangan-jangan mayat itu masih ada di sana?"

*

Mobil itu masih saja terparkir di tepi jalan dan tak ada siapapun yang mau memindahkan. Warga yang tinggal di dekat hutan itu sangat takut untuk memindahkan mobil itu karena seringnya terdapat penampakan.

Dengan diantar oleh tukang ojek, gadis itu pada akhirnya tiba di sana. Langkahnya perlahan mendekat ke mobil itu dan mencoba mencari jasad tak berupa itu. Seperti petunjuk di alam bawah sadarnya, ia menemukan sosok tubuh yang kini mulai membusuk dan menyisakan tulang yang mengelupas kulitnya.

"Astaga!"

Penemuan itu segera Keinara laporkan pada pihak berwajib.

*

"Terima kasih atas laporannya, Nona Muda. Kami akan menyelidiki mobil ini dan juga lokasi."

Keinara sedikit lega mendengarnya, tapi bukan berarti ia bisa bebas begitu saja. Entah kasus kecelakaan atau ada seseorang yang berniat membunuhnya, Keinara tidak bisa memastikan. Hati nuraninya seakan mengatakan bahwa Kiyo-lah yang melakukannya hanya untuk memuaskan dendamnya.

Jika memang benar, itu artinya amarah Kiyo sudah tak bisa dibendung lagi. Mungkin hari ini akan ada korban amarahnya dan ia takut jika keluarga Lian-lah yang menjadi sasaran selanjutnya. Pikiran itu membawanya pada sebuah kekhawatiran, ia segera pulang untuk menyelesaikan sesuatu.

Tepat saat ia tiba di rumah, tampak Yura yang mulai bersiap-siap ingin pergi ke keluar, wanita itu tengah terburu-buru.

"Syukurlah kamu pulang," sambut Yura yang kala itu tengah menggendong bayinya.

"Bu Yura mau kemana rapi begini?"

Yura terdiam, wajahnya menggambarkan rasa sendu. Sepertinya sesuatu sudah terjadi dan menimpa keluarga ini.

"Saya mau nyusul ibu saya. Beliau tiba-tiba drop."

Membeku setelah mendengar kabar itu, dan harinya begitu tepat setelah ia menemukan seonggok mayat. Keinara merasa Kiyo sudah mulai mengganggu keluarga Vanya dengan teror yang lebih parah dari sebelumnya. Yura beranjak dari rumah, menghampiri mobil Lian yang menjemputnya, meninggalkan tanda tanya di pikiran Keinara.

Kini, hanya ia bersama dengan bayinya dan Vanya. Gadis kecil yang ia asuh itu menatapnya dengan penuh tanda tanya, tersirat mengatakan 'apa yang terjadi?' dalam batinnya.

Sebagai pengasuh, ia harus bersikap tenang di hadapan Vanya.

"Dedek bayinya mau bobok kayaknya, Kakak tidurin dulu." Gadis pengasuh itu menggerakkan tubuhnya.

Sesuatu menahannya seakan tak menginginkan ia pergi, tangan mungil Vanya menarik ujung bajunya dan menatapnya penuh ketakutan.

"Jangan tinggalin dedek bayi sendirian, Kak," ucapnya kemudian.

Tangan gadis kecil itu melambai meminta Keinara bersimpuh, mendekatkan telinganya pada mulut kecilnya. Vanya berbisik dengan nada yang gemetar menceritakan peristiwa tengah dialami sang nenek.

"Tadi aku lihat Kak Kiyo lagi cekik leher nenek."

~***~

DISUKAI JIN PELINDUNG ANAK ASUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang