BAB 23

980 42 0
                                    

"Permisi. Ada yang bisa kami bantu, Mas?"

Pria muda itu tak sedikitpun membuka mulut, membuat hawa sekitar semakin suram. Sekali lagi mereka mencoba bertanya hingga akhirnya pria muda itu mulai menjawab.

Dengan suara yang pelan dan lirih, pria itu mengatakan maksud kedatangannya.

"Antarkan saya ke toko mebel."

Tiga pria yang tengah berpatroli desa itu saling menatap dengan raut keheranan, pasalnya semenjak tragedi terbunuhnya Kiyo, toko mebel itu tutup sampai saat ini. Tak pernah ada yang membicarakan atau bertanya tentangnya karena ada suatu hal yang membuat mereka semua ketakutan.

"M-maaf, Mas. Tapi di sini gak ada toko mebel sama sekali. Dulu pernah ada, tapi sekarang ditutup."

"Oh, gitu ya~."

Suaranya yang begitu lirih bersamaan dengan kepalanya yang menoleh perlahan ke arah tiga pria itu. Pria asing itu menunjukkan sebuah kejutan yang membuat ketiganya merasa ketakutan, bahkan tak mampu bergerak. Dengan wajah yang setengah hancur dan kedua bola matanya yang keluar menoleh ke arah mereka.

"S-se ... SETAAAAAAAN!"

Dua pria dengan langkah seribu, berlari kencang meninggalkan Karyo. Sementara pria itu terpatri pada tanah dengan tubuh gemetar sampai di titik ini, pria itu mulai lunglai lalu tak sadarkan diri.

***

Tebalnya kabut di pagi hari tak membuat aktivitas warga terhambat, terutama Keinara yang hari ini akan membeli bahan makanan di salah satu kedai. Ia ditemani Vanya semakin mendekat langkahnya ke kedai yang dikerumuni para wanita paru baya.

Samar-samar, mereka membicarakan Karyo yang pingsan semalam. Rumor bahwa ada seorang pemuda berwajah setengah hancur yang awalnya meneror rumah Lian, kini meneror seluruh warga desa.

Keinara mendengar itu, ia tahu bahwa hantu yang meneror mereka adalah Kiyo. Langkah dua gadis berbeda usia itu perlahan berjalan, menghiraukan rumor yang tengah diperbincangkan.

"Kak Kei." Suara Vanya membuatnya tersentak.

"Iya, kenapa?"

"Kakak kangen Kak Kiyo?" tanya gadis kecil ini, tak bisa dirinya menjawab secara langsung.

"Kenapa emangnya?"

Tangan Vanya melambai seakan meminta pengasuhnya bersimpuh dan setelahnya si gadis kecil mulai membisikkan kata-kata dari pesan yang ia dengar.

"Kak Kiyo juga kangen sama Kak Kei."

Keinara terdiam lalu menatap Vanya dengan sedikit keheranan. Seraya bangkit, sesekali menatap sekeliling lingkungan desa berharap ia dapat kembali melihat Kiyo.

*

Menatap pintu kayu yang mengarah pada ruangan misterius, Keinara kembali membuka pintu itu. Suara decit daun pintu yang usang menambah suramnya kamar kosong yang dahulu pernah ditempati Kiyo. Remang lampu minyak dengan api yang tak pernah padam, lampu yang tak akan ada yang berani menyalakannya.

Meski sudah beberapa kali di sana, tapi dirinya masih takut untuk menyambangi kamar itu. Telapak kakinya memijak di lantai yang dingin menuju ke ranjang tidur itu, tampak samar sosok bayangan pemuda terduduk seakan menanti kedatangannya.

"Apa yang kamu lakukan pada warga desa di sini? Kamu akan mencari pembunuhmu, 'kan?"

Wajah yang setengah hancur itu mulai menampakkan dirinya di depan Keinara. Tetesan darahnya masih mengalir dan tercium aroma kayu setiap kedatangannya.

"Apa yang kamu inginkan, Kiyo? Kau pasti tahu siapa yang membunuhmu, tapi kenapa kau meneror warga desa."

Kiyo terus memandang wajah Keinara yang masih menangis. Ia hanya terdiam membiarkan gadis itu menghabiskan air mata hingga sudah waktunya ia membuka suara.

"Apa yang akan ditanam, dia yang akan menuainya. Siapapun yang berbuat ... harus menerima balasannya. Rumah yang dikotori tanpa izin haruslah kembali dirapikan. Aku harap kamu mengerti, Keinara."

Gadis itu kini menoleh ke arah sang hantu berwajah hancur, matanya seakan mencari-cari maksud Kiyo dalam raut yang tak jelas itu.

"Apa maksud kamu? Apa ini karena tanah gundukan itu? Kamu ingin dikuburkan kembali?"

"Itu alasan terakhir. Aku sudah tak butuh itu."

Gadis itu semakin tak mengerti dengan maksud dari perkataan Kiyo itu. Dari ujung matanya, tangan bercakar itu mulai meraih bahunya. Terasa dingin saat menyentuh pundaknya dan rasa dingin itu membawanya semakin masuk dalam sebuah kegelapan.

Keinara lupa mengapa ia terbaring di atas tanah yang lembab. Netranya menyusuri ruang gelap, sedang punggungnya serasa sesuatu tengah menghalanginya bergerak. Perlahan ia menoleh tepat ke belakang tubuhnya.

"A-apa ini?" Gadis itu melihat dengan raut ketakutan bercampur rasa bingung dalam hatinya.

Di hadapannya, seonggok mayat dengan luka yang mengerikan tengah menatapnya dengan mata melotot. Binatang melata melilit tubuhnya yang membusuk, dikerubungi banyak belatung. Keinara melonjak melihat pemandangan menakutkan itu hingga tubuhnya menembus tanah yang menimbun.

Udara luar memasuki ruang yang ternyata adalah liang kubur. Dengan bersusah payah dirinya naik ke permukaan, tapi sesuatu tengah mencengkeram kakinya.

"Aaaaw!" Kedua kakinya dicengkeram kuat.

Tubuhnya serasa tertarik kembali masuk ke dalam liang itu dan Keinara berusaha untuk keluar dari sana. Kedua kakinya meronta melepas tangan-tangan dingin yang memegangi kakinya hingga terlepas genggamannya. Gadis itu mulai merangkak naik ke permukaan.

Namun pemandangan yang sungguh amat berbeda kembali di pandangan matanya. Entah mengapa, raganya berada di luar dan ia berdiri tepat di depan mobil terbengkalai yang ia temui di jalanan.

~***~

DISUKAI JIN PELINDUNG ANAK ASUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang