BAB 27

1.1K 40 0
                                    

***

Terminal begitu ramai, tapi tak membuat Yura dan Keinara kehabisan tiket. Mereka segera menaiki bus lalu duduk tepat di kursi sesuai dengan tiket. Sambil menggendong bayinya, gadis pengasuh itu memandang ke jendela bus seraya memikirkan bisikan Kiyo yang tampak lembut di telinganya.

Keinara sudah ingat tentang semuanya dan ia juga ingat akan rasa cintanya pada Kiyo semasa pemuda itu hidup dahulu. Traumanya perlahan menghilang, tapi ia tidak bisa menerima jika Kiyo akan melakukan hal sejauh ini pada orang lain.

"Keinara, maafkan saya." Yura dengan sesal mengatakan permohonan maaf terhadap semua yang terjadi.

"Tidak, Bu. Anda tidak sama sekali salah."

Wanita muda itu memandang ke arah Vanya yang terlelap dalam tidurnya.

"Sayang ya dia harus berpisah dengan sahabatnya dan kamu pasti sudah mencintai makhluk itu, bukan?"

Perempuan berwajah manis ini hanya terdiam saat Yura mengetahui bahwa Kiyo dan dia pernah saling mencintai. Ditatapnya bayi mungil yang terlelap dalam dekapannya, rupanya seperti manusia tapi darahnya mengalir darah siluman, benih yang diberikan Kiyo pada tubuhnya. Ia menatapnya sangat dalam sampai tak sadar bahwa ada rasa kerinduan dalam hatinya.

"Sejak dia lahir, saya belum tahu namanya. Apa kamu sudah kasih nama?" tanya Yura kembali, kali ini tentang bayinya.

Keinara menoleh sejenak kepada sang majikan lalu tersenyum lembut.

"Sudah. Namanya Keiko," jawabnya. Yura membalasnya dengan senyuman lembut.

Usapan lembut di kepalanya yang plontos, diam-diam menaruh harap agar kelak bayi itu tumbuh menjadi gadis yang pintar seperti Keinara.

Sementara itu, kesendirian kini menyelimuti Lian. Ia terduduk di sofa ruang tamu dengan hati yang frustasi. Ruang demi ruang tampak sangat sepi, tak ada kehidupan dan hanya ia yang mengisi kehidupan di rumah itu.

Sejenak Lian merenungi perkataan dan keluhan dari istrinya, beranjak dari sofa entah kemana. Berkeliling tanpa tujuan menembus remangnya lampu di setiap ruangan. Sendirian tanpa ada teman, senyap semua suara di malam kecuali langkah kakinya dan tetes air dari kran.

Matanya tiba-tiba saja tertuju pada sebuah lemari kuno. Lian perlahan mulai mendekati lemari itu dan membukanya secara perlahan. Kosong, tak ada barang-barang berharga di sana kecuali setumpuk dokumen dan album foto.

Tangannya bergerak membuka halaman demi halaman surat dokumen, ia terus memperhatikan setiap tulisan yang tertera di sana. Ia terhenti saat melihat sebuah foto rumah dan di sana terdapat foto-foto keluarga yang asing di matanya.

Entah itu keluarga Freddy, tapi Lian tak menemukan pria itu di sana. Album itu dibukanya, menatap dengan perlahan satu-persatu wajah yang tersenyum menatap ke arah kamera.

Sosok wajah seorang bocah lelaki begitu asing dalam ingatannya, tapi ia seperti pernah melihatnya. Matanya yang fokus tiba-tiba terganggu dengan suara berisik dari arah kamar kosong.

Suara berisik yang memecah keheningan membuat Lian berpikir bahwa hanya angin atau kucing yang melakukannya. Ia mencoba untuk memeriksanya. Tepat saat berada di depan pintu, engselnya tertahan pertanda bahwa kamar itu terkunci.

"Hanya perasaanku saja," gumamnya seraya melangkah berbalik.

Tepat saat ia melangkah, pintu ruangan itu terbuka. Berdiri dari sana sosok pemuda yang menatapnya marah. Bayangannya terpantul di layar TV membuat Lian segera menoleh ke arahnya. Sosok Kiyo berdiri dan masih ada di sana, tapi rautnya kontras dengan apa yang Lian lihat.

Sebuah kesedihan tergambar di sana seolah menyudutkan Lian atas perginya Keinara. Semakin lama, raga halus itu perlahan menghilang dan benar-benar menghilang tepat saat petir datang.

Lian tersentak dari lamunannya, rasa hati yang tak percaya dengan apa yang dilihatnya, apa yang tengah terjadi tadi. Peristiwa itu membuat pria muda itu amat tak tenang dan semakin gelisah. Ia baru menceritakan kejadian semalam pada Zein esoknya.

"Harusnya kau turuti apa kata istrimu," ucap Zein padanya.

"Aku sudah membayar mahal untuk rumah itu." Lian terus saja memegangi kepalanya, ia tak dapat memejamkan mata semalam dan kini kantuknya datang.

"Aku curiga bahwa Freddy menyembunyikan sesuatu."

"Apa maksudmu?"

Zein mengeluarkan sebuah foto saat ia menyambangi rumah Lian pada waktu penggalian gundukan tanah itu. Salah seorang warga kebetulan membawa kamera dan ia berhasil menangkap sesuatu yang janggal. Sosok kakek tua berbaju serba hitam tertangkap dalam kamera itu.

Lian menyipitkan matanya, sosok itu begitu samar tapi entah sorot dari kedua bola matanya begitu tajam. Ia baru ingat saat kejadian itu, istrinya berlari menembus hutan di halaman belakang rumahnya.

"Apa yang kau maksud ini adalah kakek berbaju hitam?" tanyanya.

Zein mengangguk, ia mengatakan bahwa kakek misterius itu datang dalam mimpinya, menceritakan tentang rumah itu meskipun tak jelas ucapannya. Kakek misterius itu sepertinya mengetahui banyak hal dari rumah itu termasuk masa lalunya.

"Di dalam mimpi, kakek itu datang padaku dan memberitahuku tentang rumahmu itu."

"Apa yang dia katakan?" tanya Lian penasaran.

Zein terdiam sejenak, lalu berkata, "cepat pergi sebelum pemuda itu mencelakaimu."

Pria muda itu terdiam sejenak, teringat dirinya akan pemuda misterius yang mendatanginya semalam. Bahkan raut di antara murka dan duka itu masih teringat dalam benaknya.

Netranya kemudian menatap kepada Zein. Dua pria itu saling menganggukkan kepala, menyatukan pikiran yang sama tanpa berkata.

~***~

DISUKAI JIN PELINDUNG ANAK ASUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang