BAB 13

1.3K 64 0
                                    

Di sepanjang perjamuan malam itu, mata sang nenek terfokus pada perut pengasuh Vanya yang membuncit. Tatapan sinis dan penuh kecurigaan itu membuatnya salah paham dengan menantunya sendiri.

"Sudah berapa bulan?" tanyanya pada Keinara.

"Sudah enam bulan." Gadis itu menunduk seraya mengusap perutnya.

Sang nenek kembali bertanya, tapi kali ini pertanyaan itu akan menguras hati gadis muda. Wanita tua itu seperti menuduh Lian telah berselingkuh dengan Keinara.

"Kamu hamil sama siapa?" Sontak Keinara tersentak mendengarnya lalu memasang wajah sendu.

Tak disangka apa yang ditanyakan nenek dari Vanya itu telah membuat murka Kiyo. Diliriknya makhluk yang sudah memasang wajah amarahnya ke arah sang nenek.

"Bu, gak baik tanya begitu." Yura menghentikan tindakan ibunya itu, tapi jika seorang wanita sudah curiga tentu akan sulit untuk mereda.

"Apa kamu gak curiga sama suamimu, Yur?"

"Tapi---"

"Seorang gadis pengasuh, wajahnya cantik pula. Pasti dia suka merebut suami orang, mana mungkin ngga."

Yura melirik ke arah Keinara dengan perasaan tak nyaman. Mulut wanita tua itu terus memojokkannya seakan tak suka jika kedatangan gadis itu sebagai mala petaka. Namun Vanya yang terus terdiam tidak tahan akan semua ini, tapi  dirinya tak mampu berucap. Hanya melihat sosok Kiyo yang kini merasuki raga pengasuhnya.

"BRAAAAKKKK!"

Telapak tangannya menggebrak, meja kayu itu kini terbelah menjadi dua. Semua orang di ruang makan merasa sangat terkejut dengan kejadian barusan. Raut Keinara kini mulai berubah padam, rambut yang terurai menutupi sebagian dari wajahnya.

Semua orang di ruang makan menyingkir dari gadis itu, tapi sang nenek tidak akan bisa lari karena ialah yang ditargetkan.

"MAU LARI KEMANA KAU?"

Suara bariton yang keluar dari mulut gadis pengasuh itu membuat sang nenek  gemetar ketakutan. Tubuhnya seakan terpatri di lantai dan tak bisa leluasa menggerakkan anggota tubuhnya. Sebuah hal yang mengejutkan tak dapat mereka lupakan.

Perlahan tubuh gadis itu melayang cepat ke arah sang nenek kemudian mencekik lehernya begitu kuat. Melihat keadaan itu, segera Lian dan Yura mencoba melerai.

"Kei, tolong lepasin ibu saya."

"Tenangkan dirimu, Kei."

Keinara menoleh ke arah mereka dengan tatapan yang menyeramkan seakan tak suka jika urusannya diganggu. Tangannya terus mencekik sang nenek hingga tak dapat bernapas.

"Kak Kiyo, berhenti!" teriak Vanya yang perlahan mendekati pengasuhnya.

Gadis yang sedang dikendalikan itu kembali menoleh, tapi kali ini tatapan amarahnya mulai sirna dan yang tinggal hanyalah kekosongan di benaknya. Keinara perlahan melepas cengkeraman tangannya dari leher sang nenek kemudian jatuh pingsan di atas lantai.

***

Perlahan mata sayu mengerjap, sedikit demi sedikit mulai membuka. Bola matanya melirik ke segala arah kemudian menatap tepat kepada sang nenek. Wanita tua yang kini berbalut keriput itu merasa ketakutan dan hanya berlindung di sebalik tubuh Yura.

"Ada apa ini?" tanya gadis itu seraya memegangi kepalanya.

"Kamu kesurupan lagi, Kei. Dan kamu juga hampir membuat ibu saya tidak bisa bernapas," jawab Yura memasang raut cemas.

Tatapan Keinara kembali beralih kepada sang nenek. Sesuatu hal yang membuatnya merasa membenci wanita tua itu tanpa alasan yang jelas. Bukan karena sang nenek menuduhnya, tapi sesuatu yang bukan dirinya seakan ikut masuk dalam hatinya.

"Ya udah, biarkan Keinara istirahat. Sebaiknya kita tidur." Lian mengajak istri, anak, dan mertuanya untuk meninggalkan sang pengasuh seorang diri.

Gadis itu masih terperanjak tak dapat tidur, tubuhnya sangat lelah sekarang. Dipundaknya terasa berat seakan ada sesuatu yang besar tengah merangkul dirinya. Dalam gelapnya malam itu, perasaan ingin mendatangi kamar misterius sekilas terpikir di kepalanya.

Perlahan membuka pintunya, berjalan tanpa suara menuju ke lantai bawah. Dinyalakannya sebuah lilin sebagai lentera penerang.

Ia berjalan menuju ke ruang tamu yang gelap karena penerangan sudah dipadamkan. Sesekali melihat suasana malam di sebalik jendela, menyilakan tirai yang menutupinya. Samar seorang pria berdiri dengan wajah yang memelas.

Keinara mengabaikan sosok itu dan terus berjalan sesuai tujuannya. Terhenti di depan sebuah pintu, telapaknya mencoba untuk menyentuh lalu mendorong pintu itu.

Decit pintu terdengar, pertanda bahwa pintu itu tidak dikunci. Gadis itu menatap sekeliling, ia melangkah memasuki ruang yang semakin gelap. Ruangan itu seakan memiliki lorong yang panjang menuju ke sebuah ranjang dengan lampu remang jingga menerangi di antara kelambu.

Keinara mendekati beberapa foto dan di bawahnya terdapat dupa yang sudah mengering. Dupa yang diletakkan dengan sengaja masih tercium aroma kemenyan yang kuat. Ia mulai mengarahkan nyala lilin itu pada beberapa foto yang terpajang.

Bukan suatu hal aneh, hanya foto seorang anak lelaki yang begitu bahagia di berbagai momen. Anak lelaki dengan rambut sedikit acak itu terlihat manis, wajahnya juga amat tampan.

Keinara sedikit menyunggingkan senyumannya melihat betapa lucunya anak lelaki itu. Beberapa momen itu membawa hawa yang hangat. Cukup lama ia melihat foto-foto anak misterius itu sampai matanya tertarik melihat salah satu foto dimana anak lelaki itu berpose bersama dengan seorang anak perempuan.

Gadis itu menyipitkan matanya, mengarahkan lentera ke arah foto itu. Menit demi menit mencerna wajahnya sampai ia menemukan sesuatu dalam foto itu.

"Astaga! Gak ... ini gak mungkin!"

Keinara terkejut, kini ingatannya sedikit pulih saat melihat foto anak kecil perempuan yang rupanya adalah Keinara sendiri.

Ia melangkah mundur, menjauh dari pajangan gambar itu sampai sesuatu tiba-tiba memeluk hangat dirinya. Memeluk hangat bahkan meraba perutnya yang membuncit itu. Lalu dengan perlahan suara tanpa wujud itu berbisik.

"Apa kau sudah ingat ... masa lalu kita, Keinara?"

~***~

DISUKAI JIN PELINDUNG ANAK ASUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang