Chapter 11

330 18 5
                                    

"Kau akan tahu betapa berharganya seseorang apabila ia sudah pergi meninggalkanmu."
~ Lea ~

Lea perlahan membuka matanya, lantas menatap jam yang sudah menunjukkan pukul 06.40 pagi yang artinya ia hampir terlambat.

Ia meregangkan tubuhnya sebentar, sebelum beranjak bangkit ke kamar mandi. usai dari kamar mandi Lea pun memakai seragam sekolah dengan terburu-buru.

Menyemprotkan sedikit Parfum di tubuhnya serta mengoleskan sedikit lipbalm di bibirnya supaya tak terlalu pucat. Kemudian Mengambil tas dan berlari keluar kamar.

Pandangannya mengedar keluar kamar, matanya sedikit sayu sebab semalam ia tak bisa tidur. pikirannya tak lepas dari Varo dan kejadian semalam.

Lea menghembuskan nafasnya pelan dan melangkahkan kaki menuruni anak tangga, namun baru menginjak satu anak tangga. matanya bertemu tatap dengan ... Varo?

"Varo...," panggil Lea dengan suara lirih, lantas berbalik arah menghampiri Varo.

tanpa menunggu jawaban dari, Varo. Lea pun memeluk tubuh jangkung Varo dengan erat, kali ini tak ada penolakan dari Varo. Ia hanya diam mematung, sampai Lea mengurai pelukannya.

"Varo, kemana semalam?, Lea ... Khawatir" cicit Lea dengan kepala tertunduk.

"Ayo berangkat" hanya itu kata yang terucap dari bibir Varo. Lea mengangguk dan mengikuti langkah kaki Varo, bahkan tanpa sarapan terlebih dahulu.

🍁🍂

"Varo, belum jawab pertanyaan Lea tadi pagi. Semalam Varo kemana?"

"Rumah Liam"

"Oh ... Lea pikir Varo-" Lea tak melanjutkan ucapannya kala ia melihat Safira dari kejauhan dengan banyak buku di tangannya.

Safira yang sadar dirinya diperhatikan pun menatap pada Lea kemudian berganti menatap Varo yang juga menatap kearahnya.

jantung Safira berdetak tak beraturan saat ia bertemu tatap dengan, Varo. hingga tanpa sadar ia menjatuhkan buku-bukunya tepat ketika ia berada dihadapan Lea dan Varo.

"Duh,... Kenapa harus jatuh disini, sih." keluhnya dengan suara pelan.

Lantas Ia pun memungut buku yang berhamburan di lantai itu, karena sibuk dengan pikirannya ia tak menyadari tangan seseorang menarik buku yang ia pegang.

Matanya membulat sempurna saat ia mendongak dan ternyata yang menarik bukunya itu ... Varo?

"Kak Varo?"

Varo tak menjawab, melainkan ia mengambil alih buku yang di bawa safira dan melangkahkan kakinya ke kantor guru.

Safira menatap ke belakang, sudah tak ada Lea lagi disana. apa ia tadi melamun terlalu lama hingga melewatkan apa yang terjadi saat ia sibuk dengan pikirannya.

tak ingin memikirkan hal itu, ia pun mengikuti langkah kaki Varo hingga jarak mereka sejajar. "Makasih, kak" ucapnya yang hanya diangguki oleh Varo.

"Eum, kak ..." Panggil Safira lagi.

Varo yang tadi fokus menatap jalan di depannya pun beralih menatap Safira dengan kedua alis tertaut seolah bertanya 'kenapa'.

"Apa ... kakak masih sayang sama aku?,"

Safira menundukkan kepalanya dengan memejamkan matanya sejenak, menunggu jawaban dari Varo.

"Kita sudah sampai di depan kantor" beritahu, Varo. tak mengindahkan ucapan Safira.

perlahan Safira membuka matanya, lantas menatap sekeliling Ternyata benar mereka sudah berada di depan kantor.

Safira meneguk ludahnya kasar dengan keringat dingin yang sudah membasahi pelipisnya. "I-iya kak, maaf aku ... Nggak bermaksud nanyain itu"

🍂🍁

Sementara Lea yang sudah berada di kelasnya merengut masam mengingat kejadian tadi. Sungguh ia sangat kesal dengan Varo yang membantu Safira hingga berujung ia ngambek dan meninggalkan pemuda itu.

Ingin sekali rasanya ia mengomel panjang lebar kalau saja tidak mengingat keadaan Varo yang sedang tidak baik-baik saja. Ia tak mau membebani pemuda itu.

Akhirnya ia hanya menelungkupkan kepalanya di meja, membiarkan air mata berjatuhan membasahi tas yang ia gunakan untuk menjadi bantal.

"Lea, harus gimana ..., Lea pikir Varo udah ngelupain, Safira tapi nyatanya-" Lea terisak pelan, ia tak mampu mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.

Terkadang ia berfikir apa sebaiknya dirinya menyerah dan menjauhi Varo?, tapi hati kecilnya seringkali menolak untuk menjauhi Varo. rasa cintanya semakin hari semakin besar untuk cowok yang sudah mengisi hatinya selama dua tahun belakangan ini, apalagi ia sudah memilikinya sepenuhnya, walaupun sampai saat ini perasaannya belum juga terbalaskan. Lantas ia harus bagaimana?,

"Lea!"

Lea perlahan mendongakkan kepalanya ketika menyadari tangan seseorang menyodorkan tissue padanya. "Zila ..., Zila kemana aja kemaren nggak masuk?" tanyanya saat ia sudah mengangkat kepalanya sepenuhnya.

Zila mendudukkan bokongnya tepat di bangku samping Lea, dengan wajah yang terlihat khawatir. semenjak mereka dekat, Zila sedikit demi sedikit mulai menunjukkan kepedulian padanya.

"Lo kenapa, Lea?"

Lea menggeleng cepat. "Lea nggak papa," jawabnya dengan kekehan ringan. "Lea cuma kelilipan doang, hehe"

"Tapi mata lo, ... dua-duanya sembab" kekeh Zila dengan tangan menunjuk mata Lea yang sudah memerah. "Karena, Varo?"

Lagi-lagi Lea menggeleng. "Ini bukan salahnya Varo, tapi perasaan Lea yang salah" katanya dengan senyuman hambar.

Zila terdiam, ia bingung harus menjawab apa, ia tak mungkin menyuruh Lea menjauhi Varo. gadis itu pasti tak akan mendengarkan.

"Tapi, Lea yakin suatu saat Varo pasti balas perasaan, Lea" seru Lea menggebu. berusaha menyemangati diri sendiri dan meyakinkan dirinya jika suatu saat perasaannya pasti akan terbalaskan.

🍁🍂

Usai jam pelajaran kedua Lea beranjak ke kantin bersama Zila, kali ini Lea kembali ceria seperti sebelumnya. Sepertinya ia sudah melupakan kesedihannya tadi sebab kini perutnya sangat lapar.

Lea tak menghampiri Varo di kelasnya seperti biasanya, karena larangan dari Zila. Walaupun Lea menolak keras hal itu namun akhirnya ia menurut juga, ia hanya menatap sekilas Varo yang berpapasan dengannya lalu membuang muka.

Bahkan mengingat kejadian tadi pagi saat Varo membantu Safira membuat mood Lea hilang seketika.

"Zila!, kita pesan batagor yuk. Lea pengen batagor" ajak Lea menuntun Zila ke tempat penjual batagor.

"Kenapa nggak beli kue aj-"

"Hari ini nggak boleh beli kue, Zila." bantah Lea. " apalagi kue pelangi!, hari ini nggak ada makanan manis!, biar kayak hidup lea udah pait nggak berwarna lagi" keluhnya.

Zila menahan tawanya dengan menutupi mulutnya. ternyata Lea hanya berpura-pura saja terlihat ceria tadi supaya tidak terlihat sedih di mata Varo dan semua orang.

"Berarti, minumnya air putih?" tanya Zila dengan nada mengejek. Lea terdiam sebentar Kemudian menggeleng cepat. "Enggak Zila, bukan gitu konsepnya!" Lalu keduanya tertawa.

Tanpa keduanya sadari sedari tadi diam-diam seseorang menatap keduanya dengan tatapan sulit di artikan.

"Harusnya gue nggak, peduli."

•••

Lelaki Pilihan MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang