SEDIH BANGET, PADA BACA TAPI GA DIKASIH VOTE :(
ENJOY GUYS!
***
"Yang jalanin hidup itu kita, gausah mikirin ucapan orang lain. Terkadang menilai hidup orang lain itu memang lebih mudah, daripada harus berkaca untuk melihat kehidupan mereka sendiri yang belum tentu jauh lebih baik dari kita."
Daffa Barqi Irsyad
***
"Kuliah!? Ngapain kamu kuliah segala!? Habisin uang aja tau ga!? Kamu ga liat adik kamu masih kecil!? Masih banyak biaya buat sekolah adik kamu, buat keperluan sehari-hari juga! Seharusnya kamu bantu mama kerja, atau nyari suami yang kaya sana! Liat Adiva, punya suami kaya raya!" Ucap wanita parubaya yang tengah memarahi putrinya.
"Tapi aku pengen jadi dokter, ma. Aku janji gaakan nyusahin mama. Aku akan kuliah sambil kerja, dan soal biaya kuliah aku akan cari beasiswa."
***
Sebuah mobil BMW tengah melaju membelah jalanan kota yang cukup ramai. Pria dengan setelan casual itu tengah menuju mall di pusat kota bersama sang istri. Mereka adalah Daffa dan Adiva.
Daffa tengah sibuk menyetir, sedangkan istrinya sibuk berbalas pesan dengan sahabatnya, Zea. Sesekali Adiva tertawa membaca pesan Zea, membuat Daffa menatapnya bingung.
"Seru banget keliatannya, sampe suami sendiri dicuekin!" Sindir Daffa sambil terus fokus menyetir.
Adiva yang merasa tersindir pun meletakkan ponselnya dan beralih menghadap suaminya. Dia mendekatkan tubuhnya pada sang suami dan bergelanyut manja memeluk lengan suaminya.
"Uuh, suami aku cemburu, nih?" Goda Adiva sambil mengusap lembut lengan suaminya.
Daffa tidak menjawab, dia hanya mengusap puncak kepala istrinya singkat dan tersenyum.
Sekitar 15 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai ke tujuan. Tangan Adiva tak lepas dari genggaman Daffa, karena dia takut istrinya yang mungil itu hilang.
Semua orang di mall memperhatikan mereka sambil berbisik-bisik, membuat Adiva merasa tidak nyaman.
"Mereka ngomongin kita ya, mas?" Tanya Adiva sambil mendongak menatap suaminya.
"Udah, biarin aja. Kamu mau belanja apa?"
"Gaada sih, gimana kalo kita ke timezone aja?" Daffa mengangguk sebagai jawaban.
Dengan semangat Adiva berjalan sambil setengah melompat, membuat Daffa kualahan dibuatnya. Saat tiba di pintu masuk timezone, Daffa mengentikan langkahnya yang membuat Adiva ikut berhenti.
"Kenapa mas?" Adiva memiringkan kepalanya, menatap bingung suaminya yang terdiam.
Daffa menatap sekeliling yang dipenuhi dengan anak kecil. Pikirannya menelisik jauh kedepan saat dia main di sana dan akan ditertawakan, karena sudah dewasa tapi main hal seperti itu.
"Mas!" Panggil Adiva yang menyadarkan lamunan suaminya.
"Hmm? Ki-kita makan aja yuk! Mas laper nih." Ucap Daffa gugup, mencoba membujuk istrinya untuk membatalkan niatnya bermain di timezone.
"Tadi kan udah makan, mas. Emang belum kenyang?" Heran Adiva dengan alis terangkat sebelah.
"I-iya, mas masih laper, sayang. Kita makan aja, ya!" Bujuk Daffa penuh harap.
"Yaudah, yuk!" Mendengar itu, Daffa langsung menghela nafas lega.
Mereka pun melangkah keluar menuju restoran jepang yang kebetulan bersebelahan dengan timezone. Baru satu langkah berjalan, langkah mereka terhenti ketika seorang ibu-ibu menghadang jalan mereka.
"Loh, mas, gajadi ngajak main adiknya?" Tanya ibu itu polos. Sedangkan Adiva dan Daffa saling tatap, bingung.
"Maaf bu, tapi ini istri saya." Ucap Daffa sopan sambil tersenyum.
Ibu itu tampak terkejut, dia menatap Daffa dan Adiva secara bergantian.
"Oh, maaf mas, saya ga tau." Ucap ibu itu dengan nada tidak enak hati.
Adiva dan Daffa pun tersenyum memaklumi. Tapi, ucapan ibu itu selanjutnya, berhasil membuat Adiva naik pitam.
"Tapi, mbaknya keliatan muda banget, hamil diluar nikah, ya?"
"Maaf ya, bu! Kalo ibu gatau apa-apa, jangan ngomong sembarangan! Saya bisa laporin ibu atas kasus pencemaran nama baik, loh!" Semprot Adiva yang membuat ibu itu terdiam.
Melihat istrinya marah, Daffa berusaha menenangkannya. Karena tidak ingin berlarut-larut dan membuat Adiva semakin marah, akhirnya Daffa mengajak Adiva untuk segera pergi.
"Saya rasa itu bukan urusan Anda, kami permisi!" Tegas Daffa sebelum benar-benar pergi.
Sepanjang jalan Adiva terus saja menggerutu saat mengingat ucapan ibu tadi yang menuduhnya sembarangan.
"Itu emak-emak nyebelin banget, sih! Kalo aja seumuran, pasti udah gw ajak gelud! Julid banget bibirnya, pengen gw tampol rasanya, hiihh!"
Tuk!
"Awh!" Adiva mengusap dahinya yang baru saja disentil Daffa.
"Sakit, mas!" Kesal Adiva sambil mengerucutkan bibirnya.
"Makanya, kalo ngomong jangan kasar! Mas gasuka kalo kamu jadi kasar kaya gini." Alis Adiva menyatu dengan bibir mengerucut sebal.
"Adiva sebel, mas!" Ucap Adiva sambil menghentakkan kakinya.
Daffa menghela nafas panjang, sabar menghadapi istrinya.
"Sayang, dengerin mas!" Daffa menangkup wajah Adiva agar menatapnya.
"Yang jalanin hidup itu kita, gausah mikirin ucapan orang lain. Terkadang menilai hidup orang lain itu memang lebih mudah, daripada harus berkaca untuk melihat kehidupan mereka sendiri yang belum tentu jauh lebih baik dari kita." Daffa menjeda ucapannya, menatap lekat sang istri yang emosinya mulai mereda.
"Jadi, kamu jangan mudah terpancing sama ucapan orang, okey!" Adiva mengangguk paham dan memeluk suaminya.
"Maafin Adiva ya, mas!"
"Iya sayang, mas ngerti kok. Mas juga mau minta maaf, gara-gara nikah sama om-om kaya aku, kamu jadi dituduh yang nggak-nggak." Dalam pelukan Daffa, Adiva menggeleng.
"Mas ga salah kok, kan emang Adiva cinta sama mas. Makanya, Adiva mau nikah sama mas." Daffa tersenyum lega mendengar jawaban istrinya. Dia pun mengecup puncak kepala istrinya dan mengusap halus surai istrinya.
Adiva semakin mengeratkan pelukannya, tak menghiraukan jika saat ini mereka sedang berada di tempat umum. Dunia serasa milik berdua, dan yang lain hanya numpang.
THANKS BUAT YANG UDAH BACA!
SEMOGA SUKA YA SAMA CERITA INI :)
JANGAN LUPA VOTE!SEE YOU NEXT PART ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Marriage
Teen FictionFOLLOW DULU SEBELUM BACA ❗❗❗ [Update setiap hari] Jangan lupa vote ya! Kasih tau kalo ada typo ya! Cerita ini tentang seorang gadis SMA yang memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya setelah lulus sekolah. Dia rela mengorbankan masa muda dan cita...