Hari ini adalah hari terakhir ospek dilaksanakan. Adiva dan Zea tengah menikmati makan siang mereka di kantin. Sisi kiri dipenuhi dengan mahasiswa baru, sedangkan sisi kanan dipenuhi dengan kakak tingkat mereka.
Adiva dan Zea sangat merasakan jika senioritas di antara mereka sangat kentara. Tapi kedua sahabat itu tidak ambil pusing dan terus fokus menikmati makanan di hadapannya.
"Div, pulang ngampus temenin gw kerja dong!" Pinta Zea tiba-tiba.
"Tumben-tumbenan, kenapa nih?"
"Sepet gw liat Noah terus, kalo ada lo kan mood gw bisa membaik."
Adiva terkikik geli mendengar jawaban Zea. Dia sangat heran kenapa Zea bisa sebenci itu pada Noah. Padahal Noah sangat baik menurutnya, meskipun terkadang sedikit menyebalkan.
"Oke, nanti gw ajak Mas Daffa juga," Ucap Adiva yang membuat Zea tersenyum senang.
Saat mereka tengah asik ngobrol, dua lelaki datang kemeja mereka membawa makanan masing-masing, dan mengalihkan perhatian Adiva dan Zea.
"Boleh gabung, ga?" Tanya salah satu diantaranya.
"Eh, Kak Niko," Ucap Adiva lalu saling pandang dengan Zea. Ya, dua lelaki itu Niko dan temannya.
"Semua kursinya penuh. Kami boleh gabung?" Tanya Niko lagi.
Adiva dan Zea pun reflek melihat sekeliling. Memang benar yang dikatakan Niko, semua kursi sudah penuh. Adiva dan Zea saling tatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Zea memberi kode pada Adiva agar mengizinkan Niko dan temannya untuk bergabung.
"Boleh kok, kak," Jawab Adiva sedikit canggung.
Zea pun berpindah tempat ke sebelah Adiva. Sehingga posisi mereka saat ini berhadap-hadapan, dengan Niko yang berhadapan dengan Adiva, dan Zea berhadapan dengan teman Niko.
"Thanks, ya. Btw, kenalin ini temen gw, Tristan."
"Tristan."
"Adiva, kak."
"Zea."
Tristan menjabat tangan Adiva dan Zea secara bergantian. Melihat Adiva untuk pertama kalinya, pandangan Tristan tidak dapat dibohongi jika dia tertarik pada Adiva.
Mereka makan dengan tenang. Hanya suara sendok dan piring yang berdenting, menghiasi suasana di antara mereka.
Saat Adiva tengah menoleh kearah Zea, dia mendapati sahabatnya itu tengah curi-curi pandang pada Niko. Tatapan itu sangat sulit untuk Adiva artikan.
***
"Hallo!"
"Sayang, maaf ya, hari ini kamu pulang sendiri dulu. Mas masih ada meeting sama klien," Ucap Daffa dari seberang sana.
"Iya, gapapa kok. Semangat ya, suamiku!"
"Simingit yi suimiki!" Ejek Zea menirukan ucapan Adiva.
Adiva melirik sinis kearah Zea yang berdiri di sampingnya. Tangannya meraup wajah Zea yang terlihat menyebalkan di matanya.
Zea pun menepis tangan sahabatnya itu agar jauh-jauh dari wajahnya. Dia menghela nafas panjang, karena harus melihat kebucinan Adiva pada suaminya.
"Oiya, aku mau nemenin Zea kerja boleh ga, mas?"
"Oh, kalo gitu selesai meeting nanti mas nyusulin kamu aja. Di kafenya Noah, kan?"
"Iyaps. Adiva tutup dulu ya. I love you sayang," Ucap Adiva dengan suara dibuat-buat yang membuat Zea serasa ingin muntah.
Setelah menutup telfonnya, Adiva melirik Zea yang berlagak seperti orang muntah. Dahinya mengernyit bingung.
"Lo kenapa sih?"
"Pengen muntah gw liat kebucinan lo,"
"Iri? Bilang bos!" Sombong Adiva yang diakhiri dengan gelak tawa. Zea memutar bola matanya malas.
"Makanya, cari cowok sana!" Ucap Adiva sambil merangkul pundak Zea.
"Ogah! Buruan ah! Gw udah telat gara-gara nungguin lo ngebucin, nih!" Oceh Zea dan berlalu meninggalkan Adiva.
"Tungguin dong, Ze!"
Adiva sedikit berlari untuk menyamakan langkahnya dengan Zea. Mereka berjalan tanpa ada sebuah obrolan. Zea sibuk dengan isi pikirannya, sedangkan Adiva tengah asik mengamati sekelilingnya.
Mata Adiva menyipit saat melihat sebuah bangunan bertingkat yang sangat indah saat dia menatapnya dari kampus. Dilihat dari bentuk bangunannya, Adiva tau jika itu sebuah apartemen.
"Sejak kapan di sana ada apartemen?" Gumamnya bertanya pada diri sendiri. Meski pelan, Zea masih bisa mendengar pertanyaan Adiva. Dia mengikuti arah pandangan Adiva.
"Lo lewat sini tiap hari masa baru tau?" Tanya Zea heran. Padahal bangunan itu sudah berdiri di sana sebelum mereka kuliah di sini, tapi Adiva baru sadar akan hal itu.
"Gw ga ngeh," Ucap Adiva terus mengamati bangunan itu. Dia bahkan tidak memperhatikan jalannya. "Lo mau ga, nemenin gw buat liat apartemennya? Keliatannya bagus dan nyaman," Lanjut Adiva yang membuat dahi Zea mengernyit.
"Lo mau pindah rumah?" Tanya Zea yang langsung diangguki Adiva.
"Kenapa? Suami lo bangkrut?"
Pletak!
"Awh! Sakit njirr!" Pekik Zea saat Adiva menyentil mulutnya.
"Perasaan lo suka bilang gitu, kenapa? Lo berharap suami gw bangkrut dan jatuh miskin?" Tanya Adiva tak terima sambil berkacak pinggang menatap Zea.
Zea hanya bisa menampilkan cengiran khasnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Hehe, ga gitu. Kalo mau kan dia bisa beliin lo rumah yang besar dan mewah. Kenapa lo milih tinggal di apartemen?" Mendengar pertanyaan Zea, Adiva menjatuhkan bahunya lemas.
"Gw tu lagi bingung. Mas Daffa ngajak gw pindah ke mension. Tapi kan mensionnya jauh dari kampus, gw gamau dia nanti harus repot bolak-balik buat jemput gw dari kantor."
Zea mengangguk paham mendengar penjelasan Adiva tentang masalahnya.
"Oke, gw temenin. Tapi gabisa hari ini, kalo besok gimana? Kebetulan besok gw libur kerja."
Adiva pun mengangguk setuju. Mereka kembali berjalan dengan sedikit tergesa-gesa, karena sudah 30 menit Zea telat. Tapi Zea tidak terlalu mencemaskannya. Jika nanti Noah memarahinya, maka dia akan memarahinya balik. Lagipula Noah yang memaksa Zea untuk tetap kerja di kafenya.
"Zea, awas!"
Duk!
Brak!
SEGINI DULU YA, BESOK LAGI.
LANJUT GA NIH?
JANGAN LUPA KLIK VOTE DI POJOKAN!
GRATIS KOK;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Marriage
Teen FictionFOLLOW DULU SEBELUM BACA ❗❗❗ [Update setiap hari] Jangan lupa vote ya! Kasih tau kalo ada typo ya! Cerita ini tentang seorang gadis SMA yang memutuskan untuk menikah dengan kekasihnya setelah lulus sekolah. Dia rela mengorbankan masa muda dan cita...