sesampainya di rumah, Alfath membuka sabuk pengaman Jia lalu menggandeng tangannya. Jia masih bertanya-tanya pada kepalanya, apa yang sedang di alami oleh Alfath hingga membuat nya tak se ceria biasa nya, saat memasuki ruang tamu Alfath mengajak Jia duduk berhadapan dengan nya. Sebelum ia berkata sesuatu air mata sudah mengalir di pipi nya, yang membuat Jia semakin tak paham dengan suaminya.
"Alfath...??? Kamu kenapa..??? Sini cerita sama aku” ucap Jia mengusap wajah dan air mata Alfath.
Alfath menarik nafas dalam lalu membuka pembicaraan ”ini udah waktunya untuk aku terus terang sama kamu Ji, sebenernya aku punya penyakit yang aku sembunyikan dari awal. Aku tau kamu bakalan kecewa sama aku karena aku baru ungkapin sekarang, aku minta maaf Ji..... Aku minta maaf” tangisnya semakin menjadi saat Jia mulai memeluknya dengan hangat.
”Fat, aku tau kekhawatiran kamu kok. Aku selalu tau apa yang kamu rasain apalagi itu bukan penyakit biasa..... Aku paham kenapa kamu sembunyikan ini semua dari aku, sebelumnya terimakasih atas kejujurannya, aku hargai semuanya. Tapi aku udah tau ini dari bunda kamu, maaf kalau aku juga ga berterus terang sama kamu...... Tapi aku tau kalau kita pasti bisa ngelewatin ini semua. Kamu masih bisa sembuh kan Fat?? Kamu orang kuat kan Fat?? Aku tau kamu ga akan nyerah gitu aja karena sebuah penyakit... Kita bisa lewatin ini sama-sama hanya kamu, aku, dan calon anak-anak kita nanti”
Alfath memeluk Jia semakin erat, ia menyembunyikan wajahnya di balik pundak Jia. Ia merasa bersalah karena tak sempat berbicara langsung dengan Jia, sampai-sampai Jia tau ini semua dari bundanya. Penyesalan mulai terasa di dada nya, pertengkaran terjadi di kepalanya.
Yang terpikirkan sekarang adalah caranya untuk meminta izin pada Jia, ia harus berobat di Singapura agar penyakitnya perlahan menghilang dan ia bisa menikmati hari tuanya nanti bersama anak-anak nya. Ia melepas pelukan Jia lalu menatap mata Jia sambil menyampaikan pesan melalui tatapan mata, perlahan air mata Jia mulai menetes di pipinya.... Jia mulai merasakan kesedihan yang sama dengan Alfath. Tatapan mata yang tulus dan sayu membuat Jia tak kuasa melihat menatap mata Alfath yang mulai membengkak karena tangisan yang tak tertahan.
”Fat, aku ga suka lihat kamu nangis kaya gini.... Mata kamu jadi jelek. Kaya bukan mata Alfath yang aku kenal, udah ah, jujur aja Alfath aku yang dulu lebih kuat tau ga?? Kamu kaya beda orang sayang.... Alfath tuh bukan orang yang cengeng kaya gini, atau jangan-jangan kamu alien ya?? Blikin Alfath lagi” Jia menggenggam erat tangan Alfath sambil mencium nya, perlahan air mata Jia mengalir deras sampai mengenai tangan Alfath.
”maafin aku Ji.... Maafin aku, ini semua salahku.... Kamu harus terjebak di situasi ini. Aku lebih benci kalau kamu ikutan nangis gara-gara aku... Maafin aku” Alfath mengusap punggung tangan Jia dengan lembut lalu mengusap air matanya.
”jangan pernah tangisin aku ya? Apapun yang terjadi, jangan pernah buang air mata kamu buat aku” sambungnya sembari mengecup dahi Jia.
”ga bisa Fat, rasa sedih kamu itu juga rasa sedih aku.... Kamu harus kuat demi anak-anak kita oke??? Demi aku dan demi orang-orang sekitar yang kamu sayangi oke???” ucap Jia memegang pundak Alfath sembari menguatkannya.
Jia hanya mendekatkan kepalanya pada kepala Alfath lalu memeluk Alfath dengan hangat sambil mengusap punggungnya. Alfath menggendong Jia masuk ke dalam kamar seolah tak terjadi apapun di antara mereka, ia menidurkan Jia di atas kasur lalu pergi mematikan lampu lalu berjalan ke arah kasur untuk tidur, sebelum Alfath menutup matanya untuk tidur ia selalu mengecup dahi Jia ”good night sweetie, have a nice dream” ucapnya sambil menarik selimut.
3 bulan berlalu begitu cepat hingga tak terasa kini usia kandungan Jia sudah menginjak usia 5 bulan, ia terus menatap dirinya di balik cermin sambil mengusap perutnya ia tersenyum lebar. Aliran bahagia baru saja mengalir dalam dirinya, Alfath yang melihatnya langsung menghampiri Jia dan memeluknya dari belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
ALFATH
Подростковая литература"lebih baik aku tenggelam dalam pelukmu, dari pada aku tenggelam dalam laut penyesalan. Ucapan ku memang tak semanis gula namun aku dapat menepati janjiku untuk mu" - Raden Alfath mahavira ...