Part 02

54.9K 2.5K 22
                                    

"Masih nunggu di kantin belakang, 'kan?" tanya Gauri langsung, saat teleponnya sudah diangkat oleh Kenanga di ujung sana.

"Oh, nggak masih di kantin?"

"Kamu nunggu di mobil?" Diulang jawaban yang dilontarkan sang sahabat agar jelas.

Lalu, di seberang telepon, Kenanga bertanya apakah dirinya datang ke parkiran.

"Oke, aku ke sana. Aku masih di lift."

Setelah Kenanga membalas, diakhiri cepat panggilan karena tak ada pembicaraan lagi.

Terakhir bertemu sang sahabat, dua hari lalu. Tepatnya, saat pemeriksaan kandungan untuk yang pertama kali. Setelah itu, mereka hanya berkomunikasi lewat telepon.

Kenanga mengajak bertemu, bukan untuk mengobrol ringan seperti biasanya. Namun akan memberikan vitamin khusus padanya yang berfungsi memperkuat janin.

Di usia kehamilan trimester pertama, masih ada kerawanan dalam perkembangan janin. Walau dari hasil pemeriksaan kemarin, calon anaknya terkategorikan cukup sehat.

Gauri tentu begitu bersyukur dengan kondisi jabang bayinya tak bermasalah. Padahal, ia baru tahu jiwa murni itu hadir di rahimnya setelah berusia dua belas minggu lebih.

Mungkin jika lebih awal sadar, maka akan bisa diberikan asupan nutrisi sebagaimana mestinya agar perkembangan janinnya baik.

Mulai kemarin, Gauri berusaha menjaga pola makan dengan bagus. Banyak dikonsumsi sayuran dan buah, walau selera makan yang masih bermasalah karena syok hamil.

Rasanya tidak akan adil jika calon bayinya diabaikan, hanya karena masih belum bisa menerima keadaan yang baginya berat ini.

Akan dilakukan untuk membuat calon bayinya sehat. Ia harus tetap memiliki tanggung jawab terhadap jiwa murni di rahimnya itu.

"Sudah sampai?" gumam Gauri manakala lift telah sampai di lantai dasar kantornya.

Tentu harus lekas keluar.

Langkah kaki dipercepat, ia ingin bisa segera sampai di areal parkir yang letaknya di depan gedung utama tempat kerjanya.

Tak mau dibuat Kenanga menunggu lama. Sang sahabat pasti juga dikejar waktu karena profesi sebagai dokter biasanya cukup sibuk.

Tanpa terencana sama sekali, tiba-tiba saja Gauri berhenti berjalan sesaat oleh sedan mewah milik Affandra yang dikenali betul.

Jarak cukup jauh darinya. Namun, kedua netra bisa menangkap sosok sang mantan suami keluar dari kendaraan tersebut.

Affandra tampak gagah berjalan menuju lobi kantor. Setelan hitam yang tengah dikenakan, menambah pesona pria itu sebagai pimpinan.

Kedewasaan yang tampak sangatlah matang di usia tiga puluh delapan tahun. 

Perempuan mana pun pasti akan kagum, ia termasuk salah satunya. Apalagi, setelah resmi menikah dengan Affandra, setahun lalu.

Rasa rindu tiba-tiba menghantam, manakala teringat akan semua kenangan yang selama dua belas bulan terakhir dilewati bersama Affandra dalam pernikahan mereka.

Tak ada cinta pria itu. Namun, di setiap sikap dan tindakan yang dilakukan untuknya selalu terasa tulus. Affandra sangat tahu cara untuk memperlakukannya dengan baik.

"Dia melihatku?" Gauri bergumam sedikit gelagapan karena arah pandangan sang mantan suami tertuju padanya kini.

Apakah ia sangat ketahuan sudah menatap pria itu dari kejauhan dengan rasa rindu?

Gauri pun tak bisa menghindar. Balik balik memandang ke arah sosok Affandra.

Netra sang mantan suami lumayan tajam dilayangkan kepadanya. Dan tak bisa untuk dipahami apa arti dari sorot mata pria itu.

Rasa hormat ditunjukkan layaknya seorang bawahan ke pimpinan utama perusahaan. Berusaha pula tersenyum senatural mungkin.

Sayang, respons Affandra malah terkesan dingin. Seolah mereka orang yang asing.

Raut wajah pria itu tetap datar. Tak ada sedikit pun perubahan ekspresi dilihatnya.

Memang apa diharapkannya? Dipamerkan senyuman lembut yang dulu lumayan sering Affandra tunjukkan kepada dirinya?

Ya, itu dulu saat mereka masih berstatuskan suami-istri. Sekarang sudah bercerai.

Gauri berusaha menampar diri dengan fakta. Tidak terbelenggu dengan memori‐memori indah di masa lalu yang sudah jadi kenangan.

Fokus akan masa depannya saja serta nasib sebagai ibu tunggal untuk calon bayinya.

Setelah melihat sikap sang mantan suami, ia semakin yakin untuk terus menyembunyikan kehamilannya dari pria itu. 

.....................

Yok, makin cepat up part dua, makin dekat ketemu Pak Affa di part tiga.

Yok, komen, yok. Hahaha.

Tuh pagi-pagi saya bangun buat up. Jadi, yok komen yok.

Pewaris Untuk Mantan SuamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang